Jumat, 15 November 2013

SYOK

Posted: Oktober 30, 2012 in Uncategorized
0
 
 
 
 
 
 
Rate This

I.     DEFENISI
Syok adalah gangguan sistem sirkulasi yang menyebabkan tidak adekuatnya perfusi dan oksigenasi jaringan atau suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis
II.     ETIOLOGI
A. Syok Kardiogenik
1). Disebabkan oleh Disritmia
  1. Bradidisritmia
  2. Takidisritmia
2). Disebabkan oleh factor mekanis jantung
1. Lesi regurgitasi
  • Insufisiensi aorta atau mitralis akut
  • Rupture septum interventrikularis
  • Aneurisma ventrikel kiri masif
2. Lesi obstruktif
  • Obstruksi saluran keluar ventrikel kiri, seperti stenosis katup aorta congenital atau di dapat, dan kardiomiopati hipertrofi obstruktif
  • Obstruksi saluran masuk ventrikel kiri, seperti stenosis mitralis, miksoma atrium kiri, thrombus atrium.
3) . Miopati
  • Gangguan  kontraktilitas ventrikel kiri, seperti pada infark miokardium akut atau kardiomiopati kongestif
  • Gangguan kontraktilitas ventrikel kanan yang disebabkan oleh infark ventrikel kanan
  • Gangguan relaksasi atau kelenturan ventrikel kiri, seperti pada kardiomiopati restriktif atau hipertrofik
B. Syok Obstruktif*
  1. Tamponade pericardium
  2. Koarktasio aorta
  3. Emboli paru
  4. Hipertensi pulmonalis primer
* Disebabkan oleh factor-faktor ekstrinsik terhadap katup-katup jantung dan miokardium
C. Syok Oligemik
  1. Perdarahan
  2. Kekurangan cairan akibat muntah, diare, dehidrasi, diabetes mellitus, diabetes insipidus, kerusakan korteks adrenal, peritonitis, pancreatitis, luka bakar, adenoma vilosa, ascites, atau feokromositoma
D. Syok Distributif
1. Septicemia
  • Endotoksik
  • Akibat infeksi spesifik, seperti demam dengue
2. Metabolic atau toksik
  • Gagal ginjal
  • Gagal hati
  • Asidosis atau alkalosis berat
  • Overdosis obat
  • Intoksikasi logam berat
  • Sindrom syok toksik (kemungkinan disebabkan oleh eksotoksin stafilokok)
  • Hipertermia maligna
3. Endokrinologik
  • Diabetes mellitus tak terkontrol dengan koma ketoasidosis atau hiperosmolar
  • Kerusakan korteks adrenal
  • Hipotiroidisme
  • Hiperparatiroidisme atau hipoparatiroidisme
  • Diabetes insipidus
  • Hipoglikemia akibat kelebihan insulin eksogen atau akibat tumor sel beta
4. Mikrosirkulasi, akibat berubahnya viskositas darah
  • Polisitemia vera
  • Sindrom hiperviskositas, termasuk myeloma multiple, makroglobulinemia, dan krioglobulinemia
  • Anemia sel sabit
  • Emboli lemak
5. Neurogenik
  • Seebral
  • Spinal
  • otonom
6. Anafilaktik
III.     KLASIFIKASI
Berdasarkan mekanismenya, syok diklasifikasikan sebagai berikut
  1. Syok kardiogenik
  2. Syok obtruktif
  3. Syok oligemik
  4. Syok distributive
Berdasarkan penyebabnya, syok diklasifikasikan sebagai berikut
  1. Syok hipovolemik, yaitu kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat.
  2. Syok kardiogenik
  3. Syok neurogenik
  4. Syok septic
  5. Syok anafilatik
IV.     MANIFESTASI KLINIK
Secara umum, manifestasi klinik syok adalah sebagai berikut
1. System Kardiovaskuler
Manifestasi klinik berupa:
  • Gangguan sirkulasi perifer berupa pucat dan ekstremitas dingin. Kurangnya pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah.
  • Nadi cepat dan halus
  • Tekanan darah rendah
  • Vena perifer kolaps
  • CVP rendah
2. System Respirasi
Manifestasi klinik berupa pernapasan cepat dan dangkal.
3. System Saraf Pusat
Manifestasi klinik berupa perubahan mental pasien
4. Sistem Saluran Cerna
Manifestasi klinik berupa mual dan muntah.
5. System Saluran Kencing
Manifestasi klinik berupa berkurangnya produksi urin. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah 60 ml/jam ( 1/5-1 ml/kg/jam)
V.     PATOFISIOLOGI
Berbagai mekanisme dapat menyebabkan terjadinya syok. Curah jantung yang berkurang karena gagal jantung atau karena perdarahan, vasodilatasi karena berbagai sebab seperti rangsangan simpatis parasimpatis, reaksi antigen dan antibody dapat menyebabkan pengisian pembuluh darah tidak maksimal, sehingga biasanya ditemukan manifestasi klinik berupa vena perifer kolaps dan CVP yang rendah.. Hal ini menyebabkan pasokan darah tidak mampu memenuhi kebutuhan darah.
Keadaan ini dikompensasi oleh tubuh dengan berbagai cara. Diantaranya dengan vasokonstriksi pembuluh darah perifer sehingga ekstremitas tampak pucat dan dingin, jantung berusaha berkontraksi lebih cepat untuk menghasilkan curah jantung lebih banyak sehingga nadi menjadi cepat walaupun halus. Kondisi ini juga menyebabkan kebutuhan akan oksigen semakin meningkat, sehingga pasien bernafas denga cepat dan dangkal.
Selain itu, kompensasi tubuh juga dapat berupa retensi cairan di ginjal, sehingga produksi urin pasien menjadi berkurang dari normal.
VI.     PENATALAKSANAAN
Sistematika penatalaksanaan syok Hipovolemik

Sistematika penatalaksanaan syok Kardiogenik

Sistematika penatalaksanaan syok Neurogenik

Sistematika penatalaksanaan syok Anafilatik









Sistematika penatalaksanaan syok Septik




VII.     DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan menifestasi anamnesis, pemeriksaan fisik dan dari manifestasi klinik yang muncul.
VIII.     PROGNOSIS
Pasien yang menderita syok akan memperoleh prognosis yang cukup baik jika penanganan dini dapat diberikan dalam waktu cepat seperti resusitasi cairan dan penanganan factor penyebab.
DAFTAR PUSTAKA
Hippocrates Emergency Team (HET): Prosedur Tetap, 2010
PERKI : Pedoman diagnosis & Tatalaksana Gagal Jantung, Jakarta, 2009, MED
Price, Sylvia A, Lorraine M Wilson: Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Jakarta, 2005, EGC
4
 
 
 
 
 
 
18 Votes

Oleh
Rhudy Marseno*
*Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
1. LATAR BELAKANG PATIENT SAFETY
Hampir setiap tindakan medic menyimpan potensi resiko. Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf Rumah Sakit yang cukup besar, merupakan hal yang potensial bagi terjadinya kesalahan medis (medical errors). Menurut Institute of Medicine (1999), medical error didefinisikan sebagai: The failure of a planned action to be completed as intended (i.e., error of execusion) or the use of a wrong plan to achieve an aim (i.e., error of planning). Artinya kesalahan medis didefinisikan sebagai: suatu Kegagalan tindakan medis yang telah direncanakan untuk diselesaikan tidak seperti yang diharapkan (yaitu., kesalahan tindakan) atau perencanaan yang salah untuk mencapai suatu tujuan (yaitu., kesalahan perencanaan). Kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis ini akan mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien, bisa berupa Near Miss atau Adverse Event (Kejadian Tidak Diharapkan/KTD).
Near Miss atau Nyaris Cedera (NC) merupakan suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi, karena keberuntungan (misalnya,pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat), pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan), dan peringanan (suatu obat dengan overdosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotenya).
Adverse Event atau Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), dan bukan karena “underlying disease” atau kondisi pasien.
Kesalahan tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnostic seperti kesalahan atau keterlambatan diagnose, tidak menerapkan pemeriksaan yang sesuai, menggunakan cara pemeriksaan yang sudah tidak dipakai atau tidak bertindak atas hasil pemeriksaan atau observasi; tahap pengobatan seperti kesalahan pada prosedur pengobatan, pelaksanaan terapi, metode penggunaan obat, dan keterlambatan merespon hasil pemeriksaan asuhan yang tidak layak; tahap preventive seperti tidak memberikan terapi provilaktik serta monitor dan follow up yang tidak adekuat; atau pada hal teknis yang lain seperti kegagalan berkomunikasi, kegagalan alat atau system yang lain.
Dalam kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan kesehatan mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi umumnya adalah adverse event yang ditemukan secara kebetulan saja. Sebagian besar yang lain cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau justru luput dari perhatian kita semua.
Pada November 1999, the American Hospital Asosiation (AHA) Board of Trustees mengidentifikasikan bahwa keselamatan dan keamanan pasien (patient safety) merupakan sebuah prioritas strategik. Mereka juga menetapkan capaian-capaian peningkatan yang terukur untuk medication safety sebagai target utamanya. Tahun 2000, Institute of Medicine, Amerika Serikat dalam “TO ERR IS HUMAN, Building a Safer Health System” melaporkan bahwa dalam pelayanan pasien rawat inap di rumah sakit ada sekitar 3-16% Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/Adverse Event). Menindaklanjuti penemuan ini, tahun 2004, WHO mencanangkan World Alliance for Patient Safety, program bersama dengan berbagai negara untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit.
Di Indonesia, telah dikeluarkan pula Kepmen nomor 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, yang tujuan utamanya adalah untuk tercapainya pelayanan medis prima di rumah sakit yang jauh dari medical error dan memberikan keselamatan bagi pasien. Perkembangan ini diikuti oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia(PERSI) yang berinisiatif melakukan pertemuan dan mengajak semua stakeholder rumah sakit untuk lebih memperhatian keselamatan pasien di rumah sakit.
Mempertimbangkan betapa pentingnya misi rumah sakit untuk mampu memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik terhadap pasien mengharuskan rumah sakit untuk berusaha mengurangi medical error sebagai bagian dari penghargaannya terhadap kemanusiaan, maka dikembangkan system Patient Safety yang dirancang mampu menjawab permasalahan yang ada.
2. PENGERTIAN PATIENT SAFETY
Patient Safety atau keselamatan pasien adalah suatu system yang membuat asuhan pasien di rumah sakit menjadi lebih aman.
Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
3. TUJUAN PATIENT SAFETY
Tujuan “Patient safety” adalah
1.      Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS
2.      Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit thdp pasien dan masyarakat;
3.      Menurunnya KTD di RS
4.      Terlaksananya program-program pencegahan shg tidak terjadi pengulangan KTD.
4. LANGKAH-LANGKAH PELAKSANAAN PATIENT SAFETY
Pelaksanaan “Patient safety” meliputi
1. Sembilan solusi keselamatan Pasien di RS (WHO Collaborating Centre for Patient  Safety, 2 May 2007), yaitu:
1)      Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike medication names)
2)      Pastikan identifikasi pasien
3)      Komunikasi secara benar saat serah terima pasien
4)      Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar
5)      Kendalikan cairan elektrolit pekat
6)      Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan
7)      Hindari salah kateter dan salah sambung slang
8)      Gunakan alat injeksi sekali pakai
9)      Tingkatkan kebersihan tangan untuk pencegahan infeksi nosokomial.
2. Tujuh Standar Keselamatan Pasien (mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health Organizations, Illinois, USA, tahun 2002),yaitu:
1.      Hak pasien
Standarnya adalah
Pasien & keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana & hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan).
Kriterianya adalah
1)      Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan
2)      Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan
3)      Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan yang jelas dan benar   kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya KTD
2.      Mendidik pasien dan keluarga
Standarnya adalah
RS harus mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban & tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
Kriterianya adalah:
Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dgn keterlibatan pasien adalah partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di RS harus ada system dan mekanisme mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban & tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien & keluarga dapat:
1)      Memberikan info yg benar, jelas, lengkap dan jujur
2)      Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab
3)      Mengajukan pertanyaan untuk hal yg tdk dimengerti
4)      Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan
5)      Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS
6)      Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa
7)      Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati
3.      Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Standarnya adalah
RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriterianya adalah:
1)      koordinasi pelayanan secara menyeluruh
2)      koordinasi pelayanan disesuaikan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya
3)      koordinasi pelayanan mencakup peningkatan komunikasi
4)      komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
4.      Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
         Standarnya adalah
RS harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yg ada, memonitor & mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD, & melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta KP.
Kriterianya adalah
1)      Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang baik, sesuai dengan  ”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
2)      Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja
3)      Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif
4)      Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis
5.      Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Standarnya adalah
1)      Pimpinan dorong & jamin implementasi progr KP melalui penerapan “7 Langkah Menuju KP RS ”.
2)      Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif identifikasi risiko KP & program mengurangi KTD.
3)      Pimpinan dorong & tumbuhkan komunikasi & koordinasi antar unit & individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang KP
4)      Pimpinan mengalokasikan sumber daya yg adekuat utk mengukur, mengkaji, & meningkatkan kinerja RS serta tingkatkan KP.
5)      Pimpinan mengukur & mengkaji efektifitas kontribusinyadalam meningkatkan kinerja RS & KP.
         Kriterianya adalah
1)      Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
2)      Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan insiden,
3)      Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi
4)      Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
5)      Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden,
6)      Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden
7)      Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar pengelola pelayanan
8)      Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan
9)      Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien
6.      Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Standarnya adalah
1)      RS memiliki proses pendidikan, pelatihan & orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan KP secara jelas.
2)      RS menyelenggarakan pendidikan & pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan & memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.
Kriterianya adalah
1)      memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien
2)      mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
3)      menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.
7.      Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
           Standarnya adalah
1)      RS merencanakan & mendesain proses manajemen informasi KP untuk memenuhi kebutuhan informasi internal & eksternal.
2)      Transmisi data & informasi harus tepat waktu & akurat.
           Kriterianya adalah
1)      disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.
2)      Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada

3. Tujuh langkah menuju keselamatan pasien RS (berdasarkan KKP-RS No.001-VIII-2005) sebagai panduan bagi staf Rumah Sakit
1.      Bangun kesadaran akan nilai keselamatan Pasien, “ciptakan kepemimpinan & budaya yang terbuka dan adil”
Bagi Rumah sakit:
  • Kebijakan: tindakan staf segera setelah insiden, langkah kumpul fakta,   dukungan kepada staf, pasien, keluarga
  • Kebijakan: peran & akuntabilitas individual pada insiden
  • Tumbuhkan budaya pelaporan & belajar dari insiden
  • Lakukan asesmen dg menggunakan survei penilaian KP
Bagi Tim:
  • Anggota mampu berbicara, peduli & berani lapor bila ada insiden
  • Laporan terbuka & terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan tindakan/solusi yg tepat
2.      Pimpin dan dukung staf anda, “bangunlah komitmen &focus yang kuat & jelas tentang KP di RS anda”
Bagi Rumah Sakit:
  • Ada anggota Direksi yg bertanggung jawab atas KP
  • Di bagian-2 ada orang yg dpt menjadi “Penggerak” (champion) KP
  • Prioritaskan KP dlm agenda rapat Direksi/Manajemen
  • Masukkan KP dlm semua program latihan staf
Bagi Tim:
  • Ada “penggerak” dlm tim utk memimpin Gerakan KP
  • Jelaskan relevansi & pentingnya, serta manfaat gerakan KP
  • Tumbuhkan sikap ksatria yg menghargai pelaporan insiden
3.      Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko, “kembangkan sistem & proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi & asesmen hal yg potensial brmasalah”
Bagi Rumah Sakit:
  • Struktur & proses mjmn risiko klinis & non klinis, mencakup KP
  • Kembangkan indikator kinerja bagi sistem pengelolaan risiko
  • Gunakan informasi dr sistem pelaporan insiden & asesmen risiko & tingkatkan kepedulian thdp pasien
Bagi Tim:
  • Diskusi isu KP dlm forum2, utk umpan balik kpd mjmn terkait
  • Penilaian risiko pd individu pasien
  • Proses asesmen risiko teratur, tentukan akseptabilitas tiap risiko, & langkah memperkecil risiko tsb
4.      Kembangkan sistem pelaporan, “pastikan staf Anda agar dg mudah dpt melaporkan kejadian/insiden serta RS mengatur pelaporan kpd KKP-RS”
Bagi Rumah sakit:
  • Lengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden, ke dlm maupun ke luar yg hrs dilaporkan ke KKPRS – PERSI
Bagi Tim:
  • Dorong anggota utk melaporkan setiap insiden & insiden yg telah dicegah tetapi tetap terjadi juga, sbg bahan pelajaran yg penting
5.      Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien, “kembangkan cara-cara komunikasi yg terbuka         dg pasien”
Bagi Rumah Sakit
  • Kebijakan : komunikasi terbuka ttg insiden dg pasien & keluarga
  • Pasien & keluarga mendpt informasi bila terjadi insiden
  • Dukungan,pelatihan & dorongan semangat kpd staf agar selalu terbuka kpd pasien & kel. (dlm seluruh proses asuhan pasien
Bagi Tim:
  • Hargai & dukung keterlibatan pasien & kel. bila tlh terjadi insiden
  • Prioritaskan pemberitahuan kpd pasien & kel. bila terjadi insiden
  • Segera stlh kejadian, tunjukkan empati kpd pasien & kel.
6.      Belajar dan berbagi pengalaman tentang Keselamatan pasien, “dorong staf anda utk melakukan analisis akar masalah utk belajar bagaimana & mengapa kejadian itu timbul”
Bagi Rumah Sakit:
  • Staf terlatih mengkaji insiden scr tepat, mengidentifikasi sebab
  • Kebijakan: kriteria pelaksanaan Analisis Akar Masalah (Root Cause Analysis/RCA) atau Failure Modes & Effects Analysis (FMEA) atau metoda analisis lain, mencakup semua insiden & minimum 1 x per tahun utk proses risiko tinggi
Bagi Tim:
  • Diskusikan dlm tim pengalaman dari hasil analisis insiden
  • Identifikasi bgn lain yg mungkin terkena dampak & bagi pengalaman tersebut
7.      Cegah cedera melalui implementasi system Keselamatan pasien, “Gunakan informasi yg ada ttg kejadian/masalah utk melakukan perubahan pd sistem pelayanan”
Bagi Rumah Sakit:
  • Tentukan solusi dg informasi dr sistem pelaporan, asesmen risiko, kajian insiden, audit serta analisis
  • Solusi mencakup penjabaran ulang sistem, penyesuaian pelatihan staf & kegiatan klinis, penggunaan instrumen yg menjamin KP
  • Asesmen risiko utk setiap perubahan
  • Sosialisasikan solusi yg dikembangkan oleh KKPRS-PERSI
  • Umpan balik kpd staf ttg setiap tindakan yg diambil atas insiden
Bagi Tim:
  • Kembangkan asuhan pasien menjadi lebih baik & lebih aman
  • Telaah perubahan yg dibuat tim & pastikan pelaksanaannya
  • Umpan balik atas setiap tindak lanjut ttg insiden yg dilaporkan

LANGKAH LANGKAH KEGIATAN PELAKSANAAN PATIENT SAFETY ADALAH
a. Di Rumah Sakit
1.      Rumah sakit agar membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit, dengan susunan organisasi sebagai berikut: Ketua: dokter, Anggota: dokter, dokter gigi, perawat, tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya.
2.      Rumah sakit agar mengembangkan sistem informasi pencatatan dan pelaporan internal tentang insiden
3.      Rumah sakit agar melakukan pelaporan insiden ke Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) secara rahasia
4.      Rumah Sakit agar memenuhi standar keselamatan pasien rumah sakit dan menerapkan tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit.
5.      Rumah sakit pendidikan mengembangkan standar pelayanan medis berdasarkan hasil dari analisis akar masalah dan sebagai tempat pelatihan standar-standar yang baru dikembangkan.
b. Di Provinsi/Kabupaten/Kota
1.      Melakukan advokasi program keselamatan pasien ke rumah sakit-rumah sakit di wilayahnya
2.      Melakukan advokasi ke pemerintah daerah agar tersedianya dukungan anggaran terkait dengan program keselamatan pasien rumah sakit.
3.      Melakukan pembinaan pelaksanaan program keselamatan pasien rumah sakit
c. Di Pusat
1.      Membentuk komite keselamatan pasien Rumah Sakit dibawah Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
2.      Menyusun panduan nasional tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit
3.      Melakukan sosialisasi dan advokasi program keselamatan pasien ke Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota, PERSI Daerah dan rumah sakit pendidikan dengan jejaring pendidikan.
4.      Mengembangkan laboratorium uji coba program keselamatanpasien.

Selain itu, menurut Hasting G, 2006, ada delapan langkah yang bisa dilakukan untuk mengembangkan budaya Patient safety ini
1. Put the focus back on safety
Setiap staf yang bekerja di RS pasti ingin memberikan yang terbaik dan teraman untuk pasien. Tetapi supaya keselamatan pasien ini bisa dikembangkan dan semua staf merasa mendapatkan dukungan, patient safety ini harus menjadi prioritas strategis dari rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan lainnya. Empat CEO RS yang terlibat dalam safer patient initiatives di Inggris mengatakan bahwa tanggung jawab untuk keselamatan pasien tidak bisa didelegasikan dan mereka memegang peran kunci dalam membangun dan mempertahankan fokus patient safety di dalam RS.
2. Think small and make the right thing easy to do
Memberikan pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien mungkin membutuhkan langkah-langkah yang agak kompleks. Tetapi dengan memecah kompleksitas ini dan membuat langkah-langkah yang lebih mudah mungkin akan memberikan peningkatan yang lebih nyata.
3. Encourage open reporting
Belajar dari pengalaman, meskipun itu sesuatu yang salah adalah pengalaman yang berharga. Koordinator patient safety dan manajer RS harus membuat budaya yang mendorong pelaporan. Mencatat tindakan-tindakan yang membahayakan pasien sama pentingnya dengan mencatat tindakan-tindakan yang menyelamatkan pasien. Diskusi terbuka mengenai insiden-insiden yang terjadi bisa menjadi pembelajaran bagi semua staf.
4. Make data capture a priority
Dibutuhkan sistem pencatatan data yang lebih baik untuk mempelajari dan mengikuti perkembangan kualitas dari waktu ke waktu. Misalnya saja data mortalitas. Dengan perubahan data mortalitas dari tahun ke tahun, klinisi dan manajer bisa melihat bagaimana manfaat dari penerapan patient safety.
5. Use systems-wide approaches
Keselamatan pasien tidak bisa menjadi tanggung jawab individual. Pengembangan hanya bisa terjadi jika ada sistem pendukung yang adekuat. Staf juga harus dilatih dan didorong untuk melakukan peningkatan kualitas pelayanan dan keselamatan terhadap pasien. Tetapi jika pendekatan patient safety tidak diintegrasikan secara utuh kedalam sistem yang berlaku di RS, maka peningkatan yang terjadi hanya akan bersifat sementara.
6. Build implementation knowledge
Staf juga membutuhkan motivasi dan dukungan untuk mengembangkan metodologi, sistem berfikir, dan implementasi program. Pemimpin sebagai pengarah jalannya program disini memegang peranan kunci. Di Inggris, pengembangan mutu pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien sudah dimasukkan ke dalam kurikulum kedokteran dan keperawatan, sehingga diharapkan sesudah lulus kedua hal ini sudah menjadi bagian dalam budaya kerja.
7. Involve patients in safety efforts
Keterlibatan pasien dalam pengembangan patient safety terbukti dapat memberikan pengaruh yang positif. Perannya saat ini mungkin masih kecil, tetapi akan terus berkembang. Dimasukkannya perwakilan masyarakat umum dalam komite keselamatan pasien adalah salah satu bentuk kontribusi aktif dari masyarakat (pasien). Secara sederhana pasien bisa diarahkan untuk menjawab ketiga pertanyaan berikut: apa masalahnya? Apa yang bisa kubantu? Apa yang tidak boleh kukerjakan?
8. Develop top-class patient safety leaders
Prioritisasi keselamatan pasien, pembangunan sistem untuk pengumpulan data-data berkualitas tinggi, mendorong budaya tidak saling menyalahkan, memotivasi staf, dan melibatkan pasien dalam lingkungan kerja bukanlah sesuatu hal yang bisa tercapai dalam semalam. Diperlukan kepemimpinan yang kuat, tim yang kompak, serta dedikasi dan komitmen yang tinggi untuk tercapainya tujuan pengembangan budaya patient safety. Seringkali RS harus bekerja dengan konsultan leadership untuk mengembangkan kerjasama tim dan keterampilan komunikasi staf. Dengan kepemimpinan yang baik, masing-masing anggota tim dengan berbagai peran yang berbeda bisa saling melengkapi dengan anggota tim lainnya melalui kolaborasi yang erat.

5. ASPEK HUKUM TERHADAP PATIENT SAFETY
Aspek hukum terhadap “patient safety” atau keselamatan pasien adalah sebagai berikut
UU Tentang Kesehatan & UU Tentang Rumah Sakit
1.      Keselamatan Pasien sebagai Isu Hukum
a.       Pasal 53 (3) UU No.36/2009
“Pelaksanaan Pelayanan kesehatan harus mendahulukan keselamatan nyawa pasien.”
b.      Pasal 32n UU No.44/2009
“Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit.
c.       Pasal 58 UU No.36/2009
1)      “Setiap orang berhak menuntut G.R terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam Pelkes yang diterimanya.”
2)      “…..tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.”

2.      Tanggung jawab Hukum Rumah sakit
a.       Pasal 29b UU No.44/2009
”Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.”
b.      Pasal 46 UU No.44/2009
“Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di RS.”
c.       Pasal 45 (2) UU No.44/2009
“Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.”

3.      Bukan tanggung jawab Rumah Sakit
Pasal 45 (1) UU No.44/2009 Tentang Rumah sakit
“Rumah Sakit Tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang kompresehensif. “

4.      Hak Pasien
a.       Pasal 32d UU No.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional”
b.      Pasal 32e UU No.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi”
c.       Pasal 32j UU No.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan”
d.      Pasal 32q UU No.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana”

5.      Kebijakan yang mendukung keselamatan pasien
Pasal 43 UU No.44/2009
1)      RS wajib menerapkan standar keselamatan pasien
2)      Standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan.
3)      RS melaporkan kegiatan keselamatan pasien kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri
4)      Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat secara anonym dan ditujukan untuk mengoreksi system dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien.

Pemerintah bertanggung jawab mengeluarkan kebijakan tentang keselamatan pasien. Keselamatan pasien yang dimaksud adalah suatu system dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. System tersebut meliputi:
a.       Assessment risiko
b.      Identifikasi dan pengelolaan yang terkait resiko pasien
c.       Pelaporan dan analisis insiden
d.      Kemampuan belajar dari insiden
e.       Tindak lanjut dan implementasi solusi meminimalkan resiko

6. MANAJEMEN PATIENT SAFETY
Pelaksanaan Patient Safety ini dilakukan dengan system Pencacatan dan Pelaporan serta Monitoring san Evaluasi

7. SISTEM PENCACATAN DAN PELAPORAN PADA PATIENT SAFETY
a. Di Rumah Sakit
1.      Setiap unit kerja di rumah sakit mencatat semua kejadian terkait dengan keselamatan pasien (Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan Kejadian Sentinel) pada formulir yang sudah disediakan oleh rumah sakit.
2.      Setiap unit kerja di rumah sakit melaporkan semua kejadian terkait dengan keselamatan pasien (Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan Kejadian Sentinel) kepada Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit pada formulir yang sudah disediakan oleh rumah sakit.
3.      Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit menganalisis akar penyebab masalah semua kejadian yang dilaporkan oleh unit kerja
4.      Berdasarkan hasil analisis akar masalah maka Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit merekomendasikan solusi pemecahan dan mengirimkan hasil solusi pemecahan masalah kepada Pimpinan rumah sakit.
5.      Pimpinan rumah sakit melaporkan insiden dan hasil solusi masalah ke Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) setiap terjadinya insiden dan setelah melakukan analisis akar masalah yang bersifat rahasia.

b. Di Propinsi
Dinas Kesehatan Propinsi dan PERSI Daerah menerima produk-produk dari Komite Keselamatan Rumah Sakit

c. Di Pusat
1.      Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) merekapitulasi laporan dari rumah sakit untuk menjaga kerahasiaannya
2.      Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melakukan analisis yang telah dilakukan oleh rumah sakit
3.      Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melakukan analisis laporan insiden  bekerjasama dengan rumah sakit pendidikan dan rumah sakit yang ditunjuk sebagai laboratorium uji coba keselamatan pasien rumah sakit
4.      Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melakukan sosialisasi hasil analisis dan solusi masalah ke Dinas Kesehatan Propinsi dan PERSI Daerah, rumah sakit terkait dan rumah sakit lainnya.

8. MONITORING DAN EVALUASI
a. Di Rumah sakit
Pimpinan Rumah sakit melakukan monitoring dan evaluasi pada unit-unit kerja di rumah sakit, terkait dengan pelaksanaan keselamatan pasien di unit kerja
b. Di propinsi
Dinas Kesehatan Propinsi dan PERSI Daerah melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit di wilayah kerjanya
c. Di Pusat
1.      Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Keselamatan Pasien Rumah Sakit di rumah sakit-rumah sakit
2.      Monitoring dan evaluasi dilaksanakan minimal satu tahan satu kali.

REFERENSI
1.      Komalawati, Veronica. (2010) Community&Patient Safety Dalam Perspektif Hukum Kesehatan.
2.      Lestari, Trisasi. Knteks Mikro dalam Implementasi Patient Safety: Delapan Langkah Untuk Mengembangkan Budaya Patient Safety. Buletin IHQN Vol II/Nomor.04/2006 Hal.1-3
3.       Pabuti, Aumas. (2011) Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien (KP) Rumah Sakit. Proceedings of expert lecture of  medical student of Block 21st of Andalas University, Indonesia
4.       Panduang Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). 2005
5.      Tim keselamatan Pasien RS RSUD Panembahan Senopati. Patient Safety.
6.      Yahya, Adib A. (2006) Konsep dan Program “Patient Safety”. Proceedings of  National Convention VI of The Hospital Quality Hotel Permata Bidakara, Bandung 14-15 November 2006.
7.      Yahya, Adib A. (2007) Fraud & Patient Safety. Proceedings of  PAMJAKI meeting “Kecurangan (Fraud) dalam Jaminan/Asuransi Kesehatan” Hotel Bumi Karsa, Jakarta 13 December 2007.
0
 
 
 
 
 
 
3 Votes

OKLUSI ARTERI SENTRALIS RETINA (CRAO)
Defenisi
Sumbatan pada arteri sentralis retina.
Epidemiologi
Sering terjadi pada usia tua atau usia pertengahan. Tempat tersumbatnya arteri sentralis retina biasanya di daerah lamina kribrosa.
Etiologi dan Faktor Resiko
Penyumbataan arteri sentralis retina dapat disebabkan oleh radang arteri, thrombus dan emboli pada arteri, spsame pembuluh darah, akibat terlambatnya pengaliran darah, giant cell arthritis, penyakit kolagen, kelainan hiperkoagulasi, sifilis dan trauma.
Patofisiologi
Emboli adalah penyebab tersering dari CRAO. Emboli dapat berasal dari perkapuran yang berasal dari penyakit emboli jantung.
Penyebab spasme pembuluh darah antara lain pada migraine, keracunan alcohol, tembakau, kina atau timah hitam. Perlambatan pembuluh datah retina terjadi pada peninggian TIO, stenosis aorta atau arteri karotis.
Secara oftalmoskopis, retina superficial mengalami pengeruhan kecuali di foveola yang memperlihatkan bercak merah cherry(cherry red spot). Cherry red spot adalah pigmen koroid dan RPE yang dilihat melalui daerah foveola
Manifestasi Klinik
Keluhasn pasien dengan CRAO dimulai dengan penglihatan kabur yang hilang timbul tanpa disertai rasa sakit dan kemudian gelap menetap. Penurunan visus mendadak biasanya disebabkan oleh emboli.
Reaksi pupil menjadi lemah dengan pupil anisokor. Ketajaman penglihatan berkisar antara hitung jari dan persepsi cahaya.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan fundoskopi ditemukan :
  • Fundus pucat
  • Arteri halus sampai hilang
  • Cherry red spot
  • Cattle track appearance
Tatalaksana
Terapi yang diberikan:
  • Masase bola mata
  • Parasentese
  • Vasodilator
  • O2 hiperbarik
Pengobatan dini dapat dengan menurunkan TIO, selain dengan masase bola mata bisa juga dengan asetazolamid atau parasentese bilik mata depan.
Prognosis
Penyulit yang dapat timbul adalah glaukoma neovaskular.
Rujukan
Timbul penyulit, rujuk ke spesialis mata.
OKLUSI VENA SENTRAL RETINA ( CRVO )
Defenisi
Penyumbatan vena retina yang mengakibatkan gangguan perdarahan didalam bola mata
Epidemiologi
Kelainan ini biasanya mengenai usia pertengahan. Biasanya penyumbatan terletak di mana saja pada retina, akan tetapi lebih sering terletak di depan lamina kribrosa.
Etiologi dan Faktor Resiko
Penyumbatan vena sentralis retina mudah terjadi pada pasien dengan glaukoma, diabetes mellitus, hipertensi, kelainan darah, arteriosklerosis, papil edema, retinopati radiasi, dan penyakit pembluh darah. Thrombosis dapat terjadi akibat endofeblitis.
Patofisiologi
Sebab-sebab terjadinya CRVO adalah :
  • Akibat kompresi dari luar terhadap vena tersebut seperti yang terdapat pada proses arteriosklerosis atau jaringan pada lamina kribrosa.
  • Akibat penyakit pada pembuluh darah vena sendiri sepeerti fibrosklerosis atauy endofeblitis.
  • Akibat hambatan aliran darah dalam pembuluh vena tersebut seperti yang terdapat pada kelainan viskositas darah, diskrasia darah atau spasme arteri retina yan g berhubungan.
Tajam penglihatan sentral terganggu bila perdarahan mengenai daerah macula.
Manifestasi Klinik
Penderita biasanya mengeluh adanya penurunan tajam penglihatan sentral ataupun perifer mendadak yang dapat memburuk sampai hanya tertinggal persepsi cahaya. Tidak terdapat rasa sakit dan biasanya mengenai satu mata.
Pemeriksaan Penunjang
Gambaran klinis bervariasi dari perdarahan retina kecil-kecil teersebar dan bercak cotton wool sampai gambaran perdarahan hebat dengan perdarahn rerina superficial dan dalam. Pada funduskopi ditemukan :
  • Papil udem
  • Tortositas vena meningkat, vena terlihat melebar dan berkelok-kelok
  • Flame shape appearance
Selain itu, dapat dilakukan pengukuran lemak serum, protein plasma, glukosa plasma, dan penilaian kekentalan darah dengan perkiraan hb, hematokrit, dan fibrinogen. Pada pasien usia muda, kadar protein C, protein S, dan antitrombin III harus diperiksa untuk menyingkirkan kelainan sistem trombolitik. Jika terdapat hipertensi, dianjurkan pemeriksaan uji fungsi ginjal sederhana, termasuk ureum dan elektrolit, pengukuran klirens kreatinin, pemeriksaan urin secara mikroskopik, dan USG ginjal.
Tatalaksana
  • Control dan observasi penyakit dalam
  • Fotokoagulasi, terutama pada kasus penurunan tajam penglihatan akibat penyumbatan
  • Kalau timbul glaukoma, lebih sulit diatasi. Bisa dilakukan siklokro terapi, alcohol retrobulber untuk rasa sakit, dan enukleasi
  • Pembedahan bisa dilakukan untuk mengurangi tekanan
Prognosis
Prognosis umumnya jelek, terutama untuk visus. Angiografi floresens menunjukkan dua jenis respon; tipe noniskemik, dengan dilatasi dan edema pembuluh darah; dan tipe iskemik, dengan daerah-daerah nonperfusi kapiler yang luas atau bukti adanya neovaskularisasi segmen anterior atau retina.
Jika udem dan perdarahan retina dapat diserap kembali oleh tubuh, maka dapat memperbaiki visus.

GLAUKOMA

Posted: Januari 5, 2011 in Uncategorized
0
 
 
 
 
 
 
3 Votes

Glaukoma adalah penyebab kebutaan yang irreversible di seluruh dunia, terutama di Negara berkembang dan industry. Berbeda dengan katarak, visus dapat dikembalikan dengan operasi pada pasien katarak.
Glaukoma dalah suatu kelainan mata yang ditandai dengan peningkatan tekanan intra ocular (TIO), yang menimbulkan kerusakan saraf optikus, sehingga terjadi kelainan lapangan pandang dan gangguan visus yang berakhir pada kebutaan.
TIO normal 10-22mmHg, variasi 1hari 2-8mmHg, saat tertinggi pada pagi hari dan terendah pada sore hari. TIO ditentukan oleh banyaknya produksi aqueous humor oleh corpus siliar dan hambatan-hambatan pada aqueous tersebut di dalam bola mata.
Klasifikasi glaukoma menurut Vaughan :
1.      Glaukoma primer
  • Glaukoma sudut terbuka (glaukoma simplek)
  • Glaukoma sudut tertutup
2.      Glaukoma sekunder
  • Karena perubahan lensa
  • Kelainan uvea (uveitis anterior)
  • Karena trauma mata
  • Pemakaian kortikosteroid local dan lainnya
  • Rubeosis iridis, sering terdapat pada DM dan oklusi vena centralis retina
  • Akibat operasi, misalnya operasi katarak dengan prolaps retina
3.      Glaukoma congenital
  • Primer atau infantile
  • Menyertai kelainan congenital lainnya, seperti aniridia, marfan sindrom, mikro kornea/makro kornea.
4.      Glaukoma absolut, adalah fase akhir dari glaukoma tidak terkontrol (visus=0, bola mata keras dan sering sakit kepala).

GLAUKOMA PRIMER
1. Glaukoma Sudut Terbuka (Glaukoma Simplek)
Definisi
Glaukoma yang penyebabnya tidak diketahui yang ditandai dengan sudut bilik mata terbuka.
Epidemiologi
Merupakan kasus glaukoma terbanyak(90%). Sekitar 0,4-0,7% orang berusia lebih dari 40tahun dan 2-3% orang berusia lebih dari 70tahun diperkirakan mengidap glaukoma simpleks. Biasanya bersifat bilateral, perjalanan penyakitnya perlahan tapi progresif.
Penyakit ini tiga kali lebih sering dan lebih agresif pada orang kulit hitam. Diduga glaukoma simpleks diturunkan secara dominan atau resesif pada kira-kira 50% penderita, secara genetic penderitanya adalah homozigot.
Etiologi dan Faktor Risiko
Pada glaukoma simpleks, terdapat gangguan aliran aqueous humor pada trabekulum, kanal schlemm atau sistem vena.
Terdapat faktor risiko pada seseorang untuk mendapatkan glaukoma seperti DM, hipertensi, orang kulit hitam dan myopia.
Patofisiologi
Peninggian TIO disebabkan karena terganggunya aliran aqueous humor. Hal ini terjadi karena terdapat perubahan degenerasi pada jala trabekula, kanal Schlemm, dan pembuluh darah kolektif yang berfungsi mengalirkan cairan aqueous. Beberapa ahli juga berpendapat terdapat suatu gangguan degenerasi primer dari nervus optikus yang disebabkan insufisiensi vaskuler. Pandangan ini didukung hasil observasi bahwa kadang-kadang kehilangan fungsi terus berlanjut walaupun TIO telah normal dengan pemberian obat-obat anti glaukoma ataupun dengan operasi.
Jika TIO tetap tinggi, akan terjadi kerusakan-kerusakan hebat pada mata, yaitu:
  • Degenerasi nervus optikus berupa ekskavasi yang dikenal sebagai cupping
  • Degenerasi sel ganglion dan serabut saraf dari retina berupa penciutan lapangan pandang(skotoma)
  • Atropi iris dan corpus siliar serta degenerasi hialin pada prosesus siliar
Manifestasi Klinik
  • Menahun. Mulainya gejala glaukoma simpleks ini agak lambat, kadang tidak disadari penderita(silent disease). Mata tidak merah dan tidak ada keluhan lain. Pasien datang biasanya jika sudah ada gangguan penglihatan, keadaan penyakitnya sudah berat.
  • Hampir selalu bilateral
  • Refleks pupil lambat, injeksi siliar tidak terlihat
  • TIO meninggi, KOA mungkin normal, dan pada gonioskopi terdapat sudut yang terbuka
  • Lapangan pandang mengecil atau menghilang
  • Atropi nervus optikus dan terdapat cupping abnormal (C/D > 0,4)
  • Tes provokasi positif
  • ‘Facility of outflow’ menurun. Pada gambaran patologi ditemukan proses degeneratif pada jala trabekula, termasuk pengendapan bahan ekstrasel di dalam jala dan di bawah lapisan endotel kanal Schlemm.
Diagnosis
Terdapat tiga faktor untuk diagnosis glaukoma;
  • TIO level à menigkat
  • Kelainan nervus optikus à C/D > 0,4
  • Visual field loss
Dua dari faktor di atas harus ada. Jika hanya TIO yang meningkat à hipertensi okuler.
Untuk diagnosis glaukoma simpleks, sudut KOA terbuka dan tampak normal.
Diagnosis Banding
  • Glaukoma bertekanan rendah
  • Glaukoma sudut tertutup kronik
  • Glaukoma sekunder dengan sudut terbuka
Pemeriksaan Penunjang
Masalah utama dalam deteksi glaukoma simpleks adalah tidak adanya gejala sampai stadium lanjut penyakit. Saat pertama kali menyadari adanya pengecilan lapangan pandang, biasanya telah terjadi pencekungan glaukomatosa yang bermakna. Agar berhasil, terapi harus dilakukan pada tahap dini, yang menuntut program penapisan aktif. Kendalanya, kita tidak dapat mengandalkan satu kali pemeriksaan TIO dan pemeriksaan kelainan optic disc serta visual field loss.
Perimetri okulokinetik adalah teknik baru yang mungkin menawarkan solusi untuk masalah ini. Saat ini diagnosis dini kita masih mengandalkan pemeriksaan oftalmoskopi teratur bagi kerabat pasien dan pada pemeriksaan optic disc dan tonometri, yang menjadi bagian dari pemeriksaan fisik rutin orang dewasa berusia lebih dari 30tahun.
Tata Laksana
1)      Medikamentosa
a.       Miotikum
Fungsi : mengecilkan pupil sehingga sudut akan lebih terbuka, mempermudah aliran aqueous humor dengan meninggikan efisiensi saluran ekskresi. Drug of choice :  pilokarpin 1%-4%
Kontra indikasi pada katarak dengan glaukoma kronik, karena akan menambah kabur penglihatan. Pada usia muda, terdapat artifisial myopia karena terjadi akomodasi yang bersifat spasme karena pemberian miotikum.
b.      Carbachol 0,75%-3%
Termasuk obat kolinergik, diberikan bila pilokarpin tidak mempan atau alergi terhadap pilokarpin. Berikan obat dari konsentrasi terendah.
c.       Epinefrin 0,5%-2%
Fungsi à menurunkan produksi aqueous humor dan meningkatkan ekskresi cairan aqueous. Kerjanya lebih lama dibandingkan miotikum.
d.      Timolol maleat
e.       Merupakan golongan beta adrenergic yang akan menurunkan TIO dengan menurunkan produksi aqueous. Sediaannya 0,25% dan 0,5%, diteteskan 2xsehari.
f.       Carbonic anhidrase inhibitor (diamox)
Tabletnya 125-250mg, 4xsehari. Fungsinya menekan produksi aqueous, pemakaian lama dapat menimbulkan renal calculi.

2)      Pembedahan
Merupakan tindakan membuat filtrasi cairan mata keluar dari bilik mata dengan operasi Schele, trabekulektomi, dan iridenkliesis
3)      Laser trabeculoplasty

Prognosis
Tanpa pengobatan, glaukoma dapat menimbulkan kebutaan total. Jika obat tetes antiglaukoma dapat mengontrol TIO, prognosis jadi lebih baik.

Rujukan
Setelah diberikan pertolongan pertama pada pasien, segera rujuk pada dokter spesialis mata/ pelayanan tingkat sekunder/ tersier.
2. Glaukoma Sudut Tertutup Akut
Definisi
Peninggian TIO akibat hambatan pada sudut KOA karena oleh akar iris
Epidemiologi
Biasanya terdapat pada usia yang lebih tua dan jarang terlihat pada usia di bawah 50tahun. Lebih sering pada wanita, juga ada kecenderungan familiar seperti glaukoma sudut terbuka kronik.
Etiologi dan Faktor Risiko
Glaukoma sudut tertutup akut apabila terbentuk iris bombe yang menyebabkan sumbatan sudut KOA oleh iris perifer.
Faktor risiko terjadinya glaukoma sudut tertutup ini adalah usia tua dan penderita hipermetropi.
Patofisiologi
Mekanismenya adalah peninggian TIO karena blok pupil relative, dengan bersentuhnya pinggir pupil dengan permukaan depan lensa melalui suatu proses semi midriasis. Hal ini akan menghasilkan tekanan yang meninggi pada KOP(Kamera Okuli Posterior) karena terdorongnya bagian iris perifer ke depan dan menutup sudut KOA. Hal ini terutama terjadi pada orang dengan KOA dangkal.
Jadi, ada beberapa hal penting yang berperan menimbulkan glaukoma sudut tertutup ini :
  1. Blok pupil relative yang maksimal terdapat pada pupil dengan lebar 4-5mm.
  2. Lensa yang bertambah besar, terutama pada usia tua. Makin bertambah usia, lensa bertambah besar, sehingga mudah terjadi blok pupil relative.
  3. Tebalnya iris bagian perifer dan terjadinya iris bombe yang mendorong ke arah trabekula sehingga muara trabekula tertutup.
  4. KOA yang dangkal, terdapat pada hipermetropia(karena sumbu bola mata pendek) dan pada usia tua(karena ukuran lensa yang bertambah besar).
Manifestasi Klinik
  • Penglihatan kabur, gambaran pelangi terlihat di sekitar lampu (halo) akibat udem kornea(cairan aqueous masuk ke kornea)
  • Nyeri kepala hebat(mengikuti jalannya N.V), mual, muntah(akibat reflex oculovagal)
  • Injeksi siliar (+), KOA dangkal, iris atropi, reflex pupil lambat/(-)
  • Pupil melebar disertai sumbatan pupil, sering terjadi malam hari karena pencahayaannya berkurang
  • TIO meningkat, pada gonioskopi sudut KOA tertutup
Serangat akut dapat berlangsung lama, dapat pula berjalan beberapa jam kemudian mengalami resolusi. Pada keadaan resolusi, hanya akan ditemui gambaran seperti’iridosiklitis’ dimana adanay flare dn injeksi siliar ringan. Setelah keadaan tenang, akan ditemui gejala sisa, seperti atropi iris, katarak, dan pupil irregular serta adanya sinekia posterior dan anterior dengan TIO norml atau hipotoni akibat atropi corpus siliar. Selain itu, akan ditemukan atropi nervus optikus.
Diagnosis Banding
  • Iritis akut
  • Konjungtivitis akut
  • Iridosiklitis akut dengan glaukoma sekunder. Di sini penting pemeriksaan gonioskopi,akan ditemukan sudut KOA yang terbuka.
  • Semua glaukoma akut non primer, terutama ‘Glaucomatocyclic Crisis Acute’. Sudut KOA terbuka
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan gonioskopi, terutama untuk menilai sudut KOA
Tata Laksana
Prinsip pengobatan glaukoma sudut tertutup akut adalah pembedahan. Sebelumnya, kita harus berusaaha menurunkan TIO dengan obat-obatan. Usaha membebaskan dari serangan akut ini adalh dengan obat antiglaukoma, seperti :
  • Pilokarpin 2%/4% untuk menarik iris dari sudut KOA
  • Diamox, bisa oral(4x250mg) atau parenteral(500mg IV)
  • Obat-obat hiperosmotik, sangat berguna pada serangan akut, dengan mengadakan suatu tekanan osmotik yang tinggi dalam darah sehingga menarik air dari bola mata. Sering pilokarpin hanya efektif setelah pemberian obat ini karena pada tekanan sangat tinggi sphingter iris sering paralise. Contoh obat hiperosmotik; gliserol, manitol, dan urea.
  • Setelah diberikan obat-obat di atas, nilai apakah serangan akut sudah berhenti. Sebagai parameter, kita nilai pupil, sudut KOA, dan TIO. Biasanya setelah 3-4jam serangan akut dapat teratasi. Jika masih belum, lakukan pembedahan sesegera mungkin. Kita hanya boleh menunggu 6jam dari serangan awal. Tindakan bedah yang dipilih :         – laser iridectomi
  • perifer iridectomi
Prognosis
Jika terapi tertunda, iris perifer dapat melekat ke jala trabekula, sehingga menimbulkan sumbatan irreversible yang memerlukan tindakan bedah. Komplikasi dan sekuele yang sering timbul :
  • Sinekia anterior
  • Katarak
  • Atropi terina dan nervus optikus
  • Glaukoma absolute(stadium akhir)
Rujukan
Setelah diberikan pertolongan pertama pada pasien, segera rujuk pada dokter spesialis mata/ pelayanan tingkat sekunder/ tersier.
GLAUKOMA SEKUNDER
Defenisi
Glaukoma yang diakibatkan kelainan mata atau kelainan sistemik.
Etiologi
Yang termasuk glaukoma sekuder adalah glaukoma yang disebabkan oleh :
  • Uveitis
  • Tumor intra okuler
  • Trauma mata
  • Perdarahan dalam bola mata
  • Perubahan-perubahan lensa
  • Kelainan-kelainan congenital
  • Kortikosteroid
  • Post operasi
  • Rubeosis iridis
  • Penyakit sistemik,dll.
Patologi
Glaukoma sekunder ini bisa terdapat dengan sudut terbuka ataupun sudut tertutup.
1)Glaukoma Sekunder akibat Uveitis
Terjadi udem jaringan trabekula dan endotel sehingga menimbulkan sumbatan pada muara trabekula. Peninggian protein pada aqueous dan sel radang akan memblokir trabekula. Juga terdapat hiperekskresi karena adanya iritasi.
2) Glaukoma Sekunder akibat Tumor Intra Okuler
Glaukoma terjadi karena volume yang ditempati tumor makin lama makin besar, iritasi akibat zat toksik yang dihasilkan tumor, dan sudut KOA tertutup akibat desakan tumor ke depan. Contohnya, pada melanoma dan retinoblastoma.
3) Glaukoma Sekunder akibat Trauma Mata
Trauma tumpul atau tembus dapat menimbulkan robekan iris atau corpus siliar dan terjadilah perdarahan pada KOA, TIO meninggi dengan cepat, dan hasil-hasil pemecahan darah atau bekuan menempati saluran-saluran aliran cairan. Komplikasi yang timbul kalau TIO tidak diturunkan adalah imbibisi kornea.
4) Glaukoma Sekunder akibat Perubahan Lensa
a.  Dislokasi lensa (sublukasi/luksasi)
Subluksasi anterior, menekan iris posterior ke depan, sehingga menahan aliran akuos karena sudut KOA menjadi sempit.
Sublukasi juga bisa ke posterior. Luksasi lensa juga bisa ke KOA.
b. Pembengkakan lensa
Ini terjadi pada lensa yang akan mengalami katarak. Lensa akan menutup pupil sehingga terjadi blok pupil.
c. Glaukoma fakolitik
Kapsul lensa katarak hipermatur memiliki permeabilitas yang tinggi. Melalui tempat-tempat yang bocor keluar massa korteks, yang kemudian dimakan makrofag di KOA. Makrofag ini berkumpul di sekeliling jala trabekula dan bersama-sama material lensa akan menyumbat muara trabekula sehingga terjadilah glaukoma sekunder sudut terbuka.
d.      Glaukoma fakoanafilaktik
Protein lensa dapat menyebabkan reaksi fakoanafilaktik, dalam hal ini terjadi uveitis. Protein dan debris seluler menempati sistem ekskresi  dan menutup aliran akuos.
5) Glaukoma Sekunder akibat Kortikosteroid
Patogenesa nya belum jelas. Sering dengan sudut terbuka disertai riwayat glaukoma yang turun temurun. Prosesnya seperti glaukoma simpleks
6) Hemorrhagic Glaucoma
Bentuk ini diakibatkan pembentukan pembuluh darah baru pada permukaan iris (rubeosis iridis) dan pada sudut KOA. Jaringan fibrovaskuler menghasilkan sinekia anterior yang akan menutup sudut KOA, akibatnya TIO meninggi, dan mata yang demikian sering mendapat komplikasi dari recurrent hyfema.
Manifestasi Klinik
Gejala yang ditimbulkan tergantung penyakit dasarnya. Ditambah dengan gejala dari jenis glaukoma nya, apakah sudut tertutup atau sudut terbuka.
Diagnosis
Tergantung penyakit dasar dan tipe glaucoma
Tatalaksana
Obati dulu penyakit dasarnya. Untuk glaukoma, penatalaksanaannya sama dengan penjelasan sebelumnya, tergantung tipe glaukoma yang ditimbulkan.
Prognosis
Tergantung penyakit dasar
Rujukan
Setelah diberikan pertolongan pertama pada pasien, segera rujuk pada dokter spesialis mata/ pelayanan tingkat sekunder/ tersier.
GLAUKOMA KONGENITAL
Defenisi
Kadaan TIO yang meninggi, yang akan menimbulkan kerusakan pada mata dan memburuknya tajam penglihatan pada masa bayi atau anak-anak.
Epidemiologi
Glaukoma congenital primer didapat secara herediter, merupakan jenis terbanyak dari glaukoma congenital. Sekali-sekali disertai kelainan congenital lainnya.
Glaukoma ini adalah tipe yang umum pada bayi, kebanyakan dikenal pada bulan-bulan pertama bayi dan umumnya terdapat pembesaran kornea, kekeruhan kornea, dan fotofobia. Glaukoma ini juga dikenal sebagai buftalmus/hidropthalmia.
Etiologi dan Faktor Resiko
Unknown
Patofisiologi
Secara historis, perkembangan abnormal dari daerah filtrasi iridokorneal dianggap sebagai penyebab glaukoma congenital. Dianggap bahwa pada glaukoma infantile primer, terdapat selaput tipis dan intak menutupi KOA. Ini mencegah aliran cairan akuos dan akhirnya TIO menigkat.
Manifestasi Klinik
  • Epiphora, Adalah suatu hal yang biasa terdapat pada bayi-bayi karena penyumbatan duktus nasolakrimalis secara congenital.
  • Fotofobia
  • Blefarospasme
  • Kornea membesar, keruh dan udem
  • Cupping dari optic disc
  • Glaukoma sudut terbuka
  • KOA lebih dalam
Diagnosis Banding
Yang terpenting adalah megalo kornea(/makro kornea). Diameter biasanya 14-16mm. di sini tidak terdapat TIO yang meninggi, tidak ada robekan membrane descemet dan tidak ada kelainan cup pada optic disc.
Pemeriksaan Penunjang
Bayi atau anak yang dicurigai memiliki glaukoma congenital harus dilakukan pemeriksaan sesegera mungkin dengan narkose, terhadap :
  • Besarnya kornea
  • TIO
  • C/D ratio pada nervus optikus
  • Sudut KOA dengan gonioskopi
Tatalaksana
Tujuan pengobatan adalah untuk mempertahankan visus, dengan mengontrol TIO.
-          Pembedahan
Goniotomi adalah “operation of choice”. Yaitu hanya dengan melakukan insisi pada uveal-meshwork. Insisi dibuat ke dalam jala trabekula tepat di bawah garis Schwalbe.
-          Medikamentosa
Terbatas, karena obat-obat topical jarang efektif dan obat sistemik sulit diberikan
Prognosis
Tergantung pada cepatnya tindakan pengobatan, terkontrolnya TIO, dan adanya udem kornea dari lahir.
Rujukan
Setelah diberikan pertolongan pertama pada pasien, segera rujuk pada dokter spesialis mata/ pelayanan tingkat sekunder/ tersier.
GLAUKOMA ABSOLUT
Defenisi
Stadium akhir glaukoma dimana visus=0.
Manifestasi Klinik
Kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan ekskavasi glaukomatosa, mata keras seperti batu dan terasa sakit.
Tatalaksana
Pasien yang tidak mengeluh kesakitan, tidak diberikan obat. Pada pasien yang mengeluh kesakitan dapat diberikan :
Sinar beta pada corpus siliar
Injeksi alcohol retrobulber
Kalau tidak sembuh lakukan enukleasi
Prognosis
Sangat jelek, karena sudah terjadi kebutaan yang irreversible.
Rujukan
Setelah diberikan pertolongan pertama pada pasien, segera rujuk pada dokter spesialis mata/ pelayanan tingkat sekunder/ tersier.

KATARAK

Posted: Januari 5, 2011 in Uncategorized
0
 
 
 
 
 
 
2 Votes

Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa terjadi akibat kedua-duanya.
KATARAK KONGENITAL
Defenisi
Katarak congenital adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera setelah lahir dan bayi berusia kurang dari 1 tahun.
Epidemiologi
Hamper 50% katarak congenital adalah sporadic dan tidak diketahui penyebabnya.
Etiologi dan Faktor Resiko
Katarak congenital sering ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang menderita penyakit rubella, galaktosemia, homosisteinuri, diabetes mellitus, hipoparatiroidism, homosisteinuri, toksoplasmosis, inklusi sitomegalik dan histoplasmosis.
Patofisiologi
Kekeruhan pada lensa menyebabkan sinar yang dating ke mata mengalami rintangan saat dibiaskan sampai ke retina, sehingga terjadi penurunan tajam penglihatan.
Manifestasi Klinik
Pada pupil mata bayi yang menderita katarak congenital akan terlihat bercak putih atau suatu leukokoria.
Diagnosis
Evaluasi pada Pelayanan Primer
a.       Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata
b.      Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan umur
c.       Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup, sebelum dan sesudah dilakukan dilatasi pupil dengan tropicamide 0,5%
Diagnosis Banding
Diagnosis banding adalah kelainan lain akibat gangguan refraksi pada anak.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang adalah
1.     Pemeriksaan riwayat prenatal ibu
2.     Uji reduksi pada urine. Jika pada katarak di dapat hasil positif, mungkin penyebabnya adalah galaktosemia.
3.     Pemeriksaan darah. Ada hubungan katarak congenital dengan diabetes mellitus, kalsium dan fosfor.
Tatalaksana
Tatalaksana pada Pelayanan Primer adalah penderita segera dirujuk ke fasilitas tersier untuk pemeriksaan dan penanganan selanjutnya
Tatalaksana adalah operasi. Operasi dilakukan bila reflex fundus tidak tampak. Biasanya bila katarak bersifat total, operasi dapat dilakukan pada usia 2 bulan atau lebih muda bila telah dapat dilakukan pembiusan.
Pengobatan katarak congenital bergantung kepada:
a.       Katarak total bilateral, sebaiknya pembedahan segera setelah katarak terlihat.
b.      Katarak total unilateral, dilakukan pembedahan 6 bulan sesudah terlihat atau segera sebelum terjadinya juling
c.       Katarak total atau congenital unilateral, prognosis buruk karena mudah terjadi ambliopia, dilakukan pembedahan secepatnya, diberikan kacamata dengan latihan bebat mata
d.      Katarak bilateral partial, pengobatan lebih konservatif, dicoba memakai kacamata, bila terjadi kekeruhan progresif disertai dengan mulainya tanda-tanda juling dan ambliopia maka dilakukan pembedahan. Prognosis lebih baik.
Prognosis
Prognosis visus tergantung dari jenis katarak (unilateral/ bilateral, total/partial) ada tidaknya kelainan mata yang menyertai katarak, tindakan operasi (waktu operasi, teknik operasi, komplikasi operasi) dan rehabilitasi tajam penglihatan pasca operasi.
Umumnya kurang memuaskan. Jika terdapat nistagmus, prognosisnya buruk.
Rujukan
Merujuk penderita ke pelayanan kesehatan mata tersier.
Komplikasi
Komplikasinya adalah ambliopia sensoris, nistagmus dan strabismus. Ambliopia sensoris karena macula lutea tidak cukup mendapat rangsangan sehingga tidak berkembang sempurna.

KATARAK  PADA DEWASA
Jenis jenis
Beberapa jenis katark pada dewasa adalah
1.      Katarak Rubela,
2.      Katarak Senil, adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu usia di atas 50 tahun
3.      Katarak Komplikata, adalah katarak akibat penyakit mata lain seperti radang dan proses degenerasi seperti ablasi retini, retinis pigmentosa, glaucoma, tumor intra ocular, iskemia ocular, nekrosis anterior segmen, buftalmos, akibat suatu trauma dan pasca bedah mata.
4.      Katarak Diabetes, merupakan katarak yang terjadi akibat adanya penyakit diabetes mellitus.
5.      Katarak Sekunder, merupakan katarak yang terbentuk akibat terbentuknya jaringan fibrosis pada sisa lensa yang tertinggal.
Etiologi , Epidemiologi dan Faktor Resiko
Katarak pada penderita dewasa paling sering berkaitan dengan proses degenerasi lensa pada penderita berusia lanjut yaitu di atas 40 tahun (katarak senilis). Katarak pada penderita dewasa ( berusia di atas 18 tahun) selain karena proses degenerasi, juga dapat disebabkan oleh penyakit mata seperti glaucoma, uveitis, trauma mata dan lain-lain, ataupun menderita kelainan sistemik seperti diabetes mellitus, riwayat penggunaan obat-obatan steroid dan lain-lain.
Patofisiologi
Derajat katarak adalah sebagai berikut
1.      Derajat 1, nucleus lunak, biasanya visus masih lebih baik dari 6/12, tampak sedikit keruh dengan warna agak keputihan. Reflex fundus juga masih dengan mudah diperoleh dan usia penderita juga biasanya kurang dari 50 tahun
2.      Derajat 2, nucleus dengan kekerasan ringan, tampak nucleus mulai sedikit berwarna kekuningan, visus biasanya antara 6/12 sampai 6/30. Refleks fundus juga masih mudah diperoleh dan katark jenis ini paling sering memberikan gambaran seperti katarak subkapsularis posterior.
3.      Derajat 3, nucleus dengan kekerasan medium, dimana nucleus tampak berwarna kuning disertai dengan kekeruhan korteks yang berwarna keabu-abuan. Visus biasanya antara 3/60 sampai 6/30.
4.      Derajat 4, nucleus keras, dimana nucleus sudah berwarna kuning kecoklatan dan visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60, diamana reflex fundus maupun keadaan fundus sudah sulit dinilai.
5.      Derajat 5, nucleus sangat keras, nucleus sudah berwarna kecoklatan bahkan ada yang sampai berwarna agak kehitaman. Visus biasanya hanya 1/60 atau lebih jelek dan usia penderita sudah di atas 65 tahun. Katark ini sangat keras dan disebut juga brunescent cataract atau black cataract.
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik katarak pada dewasa secara umum adalah
1.      Penurunan visus secara perlahan-lahan
2.      Ukuran kacamata semakin sering mengalami perubahan
3.      Keluhan silau
4.      Kesulitan membaca
Diagnosis
Diagnosis melalui gejala klinis dan ophtalmoscope
Diagnosis Banding
Diagnosis banding adalah penyakit akibat kelainan refraksi pada dewasa lainnya
Tatalaksana
Tatalaksana pada pelayanan kesehatan mata primer adalah
Penatalaksanaan bersifat non bedah, dimana pasien dengan visus >6/12 atau sudah mengganggu untuk melakukan kegiatan sehari-hari berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi lain untuk operasi.
Prognosis
Prognosis tergantung onset, waktu pengobatan, pengobatan yang adekuat dan penyakit peserta. Pada penderita yang berusia lanjut sering penyakit belum selesai diobati karena penderita telah meninggal usia.
Rujukan
Jika visus <6/12 atau sudah mengganggu untuk melakukan kegiatan sehari-hari bekerjaan dengan pekerjaan, atau ada indikasi lain untuk operasi, maka pasien dirujuk ke dokter spesialis mata pada fasilitas sekunder atau tersier.

KELAINAN REFRAKSI

Posted: Januari 5, 2011 in Uncategorized
0
 
 
 
 
 
 
1 Vote

EMETROPIA
Defenisi
Emetropia adalah mata tanpa adanya kelainan refraksi pembiasan sinar mata dan berfungsi normal. Sinar jatuh difokuskan sempurna di daerah macula lutea tanpa bantuan akomodasi.

AKOMODASI
Defenisi
Akomodasi adalah kemampuan lensa untuk mencembung yang terjadi akibat kontraksi otot siliar, akibatnya daya pembiasan lensa bertambah kuat. Kekuatan akomodasi diatur oleh reflex akomodasi yang akan bangkit bila mata melihat kabur dan pada waktu konvergensi atau melihat dekat.

PRESBIOPIA
1. Defenisi
Presbiopi adalah keadaan berkurangnya daya akomodasi pada usia lanjut
2. Epidemiologi
Terjadi mulai pada usia 40 tahun ke atas
3. Etiologi dan Faktor Resiko
Gangguan akomodasi pada presbiopi dapat terjadi akibat
a.       Kelemahan otot akomodasi
b.      Lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sklerosis lensa
4. Patofisiologi
Akibat kelemahan otot akomodasi dan lensa mata yang  berkurang elastisitasnya menyebabkan sinar yang dating kea rah mata di biaskan di belakang retina, sehingga bayangan tidak jatuh tepat di retina sehingga penderita tidak mampu melihat benda dengan jelas.
5. Manifestasi Klinik
Manifestasi kliniknya hamper sama dengan hipermetropi
6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan manifestasi klinik dan pemeriksaan ophtalmoscope.
7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding adalah hipermetropi dan low vision jika hipermetropinya lebih dari 3 dioptri.
8. Tatalaksana
Dikoreksi dengan lensa positif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal.
9. Prognosis
Karena kelainan ini disebakan karena proses degenerasi, maka prognosisnya cukup jelek.
AMETROPIA
Ametropia adalah keadaan pembiasan mata dengan panjang bola mata yang tidak seimbang. Terjadi akibat kelainan kekuatan pembiasan sinar media penglihatan atau kelainan bentuk bola mata.
Dikenal berbagai bentuk ametropia
a.       Ametropia aksial
Yaitu ametropia yang terjadi akibat sumbu optic bola mata lebih panjang atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di depan atau di belakang retina.
Pada myopia aksial focus akan terletak di depan retina karena bola mata lebih panjang dan pada hipermetropia aksial focus bayangan terletak di belakang retina.
b.      Ametropia refraktif
Yaitu ametropia akibat kelainan system pembiasan sinar di dalam mata. Bila daya bias kuat maka bayangan benda terletak di depan retina (myopia), bila daya bias kurang maka bayangan benda akan terletak di belakang retina (hipermetropi refraktif).
Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk:
1. Miopia
1.1. Defenisi
Miopi adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan sinar yang berlebihan  sehingga sinar sejajar yang dating dibiaskan di depan retina
1.2. Klasifikasi
Dikenal beberapa bentuk myopia:
a.       Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat.
b.      Myopia aksial, myopia akibat panjangnya sumbu bola mata dengan kelengkungan kornea dan lensa normal.
c.       Myopia kurvatura, besar bola mata normal tetapi kurvatura kornea dan lensa lebih besar dari normal.
Menurut derajat beratnya myopia dibagi dalam:
a.       Myopia ringan, miopianya 1-3 dioptri
b.      Miopia sedang, miopinya 3-6 dioptri
c.       Miopia berat atau tinggi, miopinya lebih besar dari 6 dioptri
Menurut perjalanan myopia dikenal bentuk
a.       Myopia stasioner, myopia menetap setelah dewasa
b.      Myopia progresif, myopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata
c.       Myopia maligna, myopia yang berjalan progresif yang dapat mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan myopia pernisiosa/myopia maligna/miopiadegeneratif. Biasanya terjadi bila myopia lebih dari 6 dioptri disertai kelainan pada fundus okuli dan pada panjangnya bola mata sampai terbentuk stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi korioretina.
1.3. Epidemiologi
Kelainan ini menyebar merata di berbagai geografis, etnis, usia dan jenis kelamin.
1.4. Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab kelainan ini sesuai jenisnya masing-masing, yaitu diameter anterior posterior bola mata yang lebih panjang, kurvatura kornea dan lensa yang lebih besar, dan perubahan indeks refraktif.
1.5. Patofisiologi
Diameter anterior posterior bola mata yang lebih panjang, kurvatura kornea dan lensa yang lebih besar, dan perubahan indeks refraktif menyebabkan sinar yang dating sejajar kearah mata dibiaskan di depan retina, sehingga bayangan kabur pada retina.
1.6. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik miopi adalah
a.       Pasien menyatakan melihat lebih jelas bila dekat malahan melihat terlalu dekat, sedangkan melihat jauh kabur atau disebut pasien adalah rabun jauh.
b.      Paisen mengeluh sakit kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak mata yang sempit
c.       Pasien mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi, jika kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau esoptropia.
1.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan dengan ophtalmoscope.
1.8. Diagnosis Banding
Diagnosis bandingnya diantaranya hipermetropi dengan kekuatan lebih dari 3 Dioptri.
1.9. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopik kresen yaitu gambaran bulan sabit yang terlihat pada polus posterior fundus mata myopia, sclera oleh koroid.
1.10. Tatalaksana
Memberikan kacamata sferis negative terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal.
1.11. Prognosis
Prognosis tergantung onset kelainan, waktu pemberian peengobatan, pengobatan yang diberikan dan penyakit penyerta. Pada anak-anak, jika koreksi diberikan sebelum saraf optiknya matang (biasanya pada umur 8-10 tahun), maka prognosisnya lebih baik.
1.12. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul yaitu ablasi retina dan juling. Juling biasanya esotropia atau juling ke dalam akibat mata berkonvergensi terus-menerus. Bila terdapat juling keluar mungkin fungsi satu mata telah berkurang atau terdapat ambliopia.
1.13. Rujukan
Pasien dengan kelainan ini dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan mata sekunder (spesialis mata) jika tidak menunjukkan hasil yang memuaskan setelah diberi koreksi kacamata atau terdapat komplikasi.
2. Hipermetropi
2.1. Defenisi
Keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina.
2.2. Klasifikasi
Berdasar struktur bola mata
1.      Hipermetropi refraktif, berkurangnya indeks bias media penglihatan
2.      Hipermetropi aksial, kekuatan refraksi mata normal, tetapi diameter anterior posterior bola mata lebih pendek dari normal
3.      Hipermetropi kurvatura, besar bola mata normal tetapi kurvatura kornea dan lensa lebih lemah dari normal
2.3. Epidemiologi
Kelainan ini menyebar merata di berbagai geografis, etnis, usia dan jenis kelamin.
2.4. Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab kelainan ini sesuai jenisnya masing-masing, yaitu diameter anterior posterior bola mata yang lebih pendek, kurvatura kornea dan lensa yang lebih lemah, dan perubahan indeks refraktif

2.5. Patofisiologi
Diameter anterior posterior bola mata yang lebih pendek, kurvatura kornea dan lensa yang lebih lemah, dan perubahan indeks refraktif menyebabkan sinar sejajar yang dating dari objek terletak jauh tak terhingga di biaskan di belakang retina.

2.6. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik hipermetropi adalah
a.       Bila 3 dioptri atau lebih, atau pada usia tua, pasien mengeluh penglihatan jauh kabur.
b.      Penglihatan dekat lebih cepat buram, akan lebih terasa lagi pada keadaan kelelahan, atau penerangan yang kurang.
c.       Sakit kepala biasanya pada daerah frontal dan dipacu oleh kegiatan melihat dekat jangka panjang. Jarang terjadi pada pagi hari, cenderung terjadi setelah siang hari dan bisa membaik spontan kegiatan melihat dekat dihentikan.
d.      Eyestrain
e.       Sensitive terhadap cahaya
f.       Spasme akomodasi, yaitu terjadinya cramp m. ciliaris diikuti penglihatan buram intermiten
2.7. Diagnosis
Pada pasien dengan daya akomodasi yang masih sangat kuat atau pada anak-anak, sebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan pemberian siklopegik atau melumpuhkan otot akomodasi.
2.8. Diagnosis Banding
Diagnosis Banding kelainan ini adalah Presbiopi.
2.9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang adalah ophtalmoscope.
2.10. Tatalaksana
Diberikan koreksi hipermetropia manifest dimana tanpa siklopegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang memberikan tajaman penglihatan normal.
Bila terdapat juling ke dalam atau esotropia diberikan kacamata koreksi hipermetropia total. Bila terdapat tanda atau bakat juling keluar (eksoforia) maka diberikan kacamata koreksi positif kurang.
2.11. Prognosis
Prognosis tergantung onset kelainan, waktu pemberian peengobatan, pengobatan yang diberikan dan penyakit penyerta. Pada anak-anak, jika koreksi diberikan sebelum saraf optiknya matang (biasanya pada umur 8-10 tahun), maka prognosisnya lebih baik.


2.12. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah esotropia dan glaucoma. Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat pasien selamanya melakukan akomodasi. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi otot siliar pada badan siliar yang akan mempersempit sudut bilik mata.
2.13. Rujukan
Pasien dengan kelainan ini dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan mata sekunder (spesialis mata) jika tidak menunjukkan hasil yang memuaskan setelah diberi koreksi kacamata atau terdapat komplikasi.

3. Astigmat
3.1. Defenisi
Astigmat adalah suatu keadaan dimana berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan permukaan kornea.
3.2. Klasifikasi
Tipe-tipe astigmatisma:
1.      Astigmatisma hipermetropikus simpleks, satu meridian utamanya emetropik, meridian yang lainnya hipermetropik.
2.      Astigmatisma miopikus simpleks, satu meridian utamanya emetropik, meridian lainnya miopi
3.      Astigmatisma hipermetropikus kompositus, kedua meridian utama hipermetropik dengan derajat berbeda.
4.      Astigmatisma miopikus kompositus, kedua meridian utamanya miopik dengan derajat berbeda
5.      Astigmatisma mikstus, satu meridian utamanya hipermetropik, meridian yang lain miopik.
3.3. Epidemiologi
Kelainan ini menyebar merata di berbagai geografis, etnis, usia dan jenis kelamin.
3.4. Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab kelainan ini adalah terdapatnya perbedaan diameter anterior posterior bola mata, kurvatura kornea dan lensa serta indek bias kedua mata.
3.5. Patofisiologi
Perbedaan diameter anterior posterior bola mata, kurvatura kornea dan lensa serta indek bias kedua mata menyebabkan sinar sejajar tidak dibiaskan secara seimbang pada seluruh meridian.
3.6. Manifestasi Klinik
Manifestasi Klinik dari kelainan ini adalah
a.       Penglihatan buram
b.      Head tilting
c.       Menengok untuk melihat jelas
d.      Mempersempit palpebra
e.       Memegang bahan bacaan lebih dekat
3.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan dengan ophtalmoscope.
3.8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding kelainan ini adalah miopi dan hipermetropi.
3.9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang adalah ophtalmoscope.
3.10. Tatalaksana
Koreksi dengan lensa silinder bersama dengan sferis kalau ada.
3.11. Prognosis
Prognosis tergantung onset kelainan, waktu pemberian peengobatan, pengobatan yang diberikan dan penyakit penyerta. Pada anak-anak, jika koreksi diberikan sebelum saraf optiknya matang (biasanya pada umur 8-10 tahun), maka prognosisnya lebih baik.
3.12. Rujukan
Pasien dengan kelainan ini dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan mata sekunder (spesialis mata) jika tidak menunjukkan hasil yang memuaskan setelah diberi koreksi kacamata atau terdapat komplikasi.

KESEHATAN USIA LANJUT (LANSIA)

Posted: Januari 5, 2011 in Uncategorized
0

1. PERUBAHAN FISIK PADA USIA LANJUT

Perubahan fisik pada usia lanjut meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua sistem organ tubuh, diantaranya sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh, muskuloskeletal, gastrointestinal, genito urinaria, endokrin dan integumen.
a. Sistem pernafasan pada lansia.
Perubahan yang terjadi pada system pernapasan lansia adalah
  1. Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga volume udara inspirasi berkurang, sehingga pernafasan cepat dan dangkal.
  2. Penurunan aktivitas silia menyebabkan penurunan reaksi batuk sehingga potensial terjadi penumpukan sekret.
  3. Penurunan aktivitas paru ( mengembang & mengempisnya ) sehingga jumlah udara pernafasan yang masuk keparu mengalami penurunan, kalau pada pernafasan yang tenang kira kira 500 ml.
  4. Alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang ( luas permukaan normal 50m²), Ù menyebabkan terganggunya prose difusi.
  5. Penurunan oksigen (O2) Arteri menjadi 75 mmHg menggangu prose oksigenasi dari hemoglobin, sehingga O2 tidak terangkut semua kejaringan.
  6. CO2 pada arteri tidak berganti sehingga komposisi O2 dalam arteri juga menurun yang lama kelamaan menjadi racun pada tubuh sendiri.
  7. kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret & corpus alium dari saluran nafas berkurang sehingga potensial terjadinya obstruksi.
b. Sistem Persyarafan
Perubahan yang terjadi pada system persyarafan lansia adalah
  1. Cepatnya menurunkan hubungan persyarafan.
  2. Lambat dalam merespon dan waktu untuk berfikir.
  3. Mengecilnya syaraf panca indera.
  4. Berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya syaraf pencium & perasa lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin.
c. Panca indera
Perubahan yang terjadi pada panca indera lansia adalah
1)      Penglihatan, perubahan penglihatan yang terjadi adalah
  • Kornea lebih berbentuk skeris.
  • Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar.
  • Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa).
  • Meningkatnya ambang pengamatan sinar : daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam cahaya gelap.
  • Hilangnya daya akomodasi.
  • Menurunnya lapang pandang & berkurangnya luas pandang.
  • Menurunnya daya membedakan warna biru atau warna hijau pada skala.
2)      Pendengaran, perubahan pendengaran yang terjadi adalah
  • Presbiakusis (gangguan pada pendengaran), hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara, antara lain nada nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata kata, 50 % terjadi pada usia diatas umur 65 tahun.
  • Membran timpani menjadi atropi menyebabkan otosklerosis.
  • Terjadinya pengumpulan serumen, dapat mengeras karena meningkatnya kreatin.
3)      Pengecap dan penghidu, perubahan pengecap dan penghidu yang terjadi adalah
  • Menurunnya kemampuan pengecap.
  • Menurunnya kemampuan penghidu sehingga mengakibatkan selera makan berkurang.
4)      Peraba, perubahan peraba yang terjadi adalah
  • Kemunduran dalam merasakan sakit.
  • Kemunduran dalam merasakan tekanan, panas dan dingin.
d. Perubahan cardiovascular
Perubahan yang terjadi pada system cardiovascular lansia adalah
  1. Katub jantung menebal dan menjadi kaku.
  2. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1 % pertahun sesudah berumur 20 tahun. Hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
  3. Kehilangan elastisitas pembuluh darah.
  4. Kurangnya efektifitasnya pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi dari tidur keduduk ( duduk ke berdiri ) bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg ( mengakibatkan pusing mendadak ).
  5. Tekanan darah meningkat akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer (normal ± 170/95 mmHg ).
e. Sistem Genito Urinaria
Perubahan yang terjadi pada system genitor urinaria lansia adalah
  1. Ginjal, Mengecil dan nephron menjadi atropi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50 %, penyaringan diglomerulo menurun sampai 50 %, fungsi tubulus berkurang akibatnya kurangnya kemampuan mengkonsentrasi urin, berat jenis urin menurun proteinuria ( biasanya + 1 ) ; BUN meningkat sampai 21 mg % ; nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat.
  2. Vesika urinaria / kandung kemih, Otot otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebabkan frekwensi BAK meningkat, vesika urinaria susah dikosongkan pada pria lanjut usia sehingga meningkatnya retensi urin.
  3. Pembesaran prostat ± 75 % dimulai oleh pria usia diatas 65 tahun.
  4. Atropi vulva.
  5. Vagina, Selaput menjadi kering, elastisotas jaringan menurun juga permukaan menjadi halus, sekresi menjadi berkurang, reaksi sifatnya lebih alkali terhadap perubahan warna.
  6. Daya sexual, Frekwensi sexsual intercouse cendrung menurun tapi kapasitas untuk melakukan dan menikmati berjalan terus.
f. Sistem Endokrin/metabolic
Perubahan yang terjadi pada system endokrin/metabolik lansia adalah
  1. Produksi hampir semua hormon menurun.
  2. Fungsi paratiroid dan sekesinya tak berubah.
  3. Pituitary, Pertumbuhan hormon ada tetapi lebih rendah dan hanya ada di pembuluh darah dan berkurangnya produksi dari ACTH, TSH, FSH dan LH.
  4. Menurunnya aktivitas tiriod Ù BMR turun dan menurunnya daya pertukaran zat.
  5. Menurunnya produksi aldosteron.
  6. Menurunnya sekresi hormon bonads : progesteron, estrogen, testosteron.
  7. Defisiensi hormonall dapat menyebabkan hipotirodism, depresi dari sumsum tulang serta kurang mampu dalam mengatasi tekanan jiwa (stess).
g. Sistem Pencernaan
Perubahan yang terjadi pada system pencernaan lansia adalah
  1. Kehilangan gigi, Penyebab utama adanya periodontal disease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk.
  2. Indera pengecap menurun, Adanya iritasi yang kronis dari selaput lendir, atropi indera pengecap (± 80 %), hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap dilidah terutama rasa manis, asin, asam & pahit.
  3. Esofagus melebar.
  4. Lambung, rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun ), asam lambung menurun, waktu mengosongkan menurun.
  5. Peristaltik lemah & biasanya timbul konstipasi.
  6. Fungsi absorbsi melemah ( daya absorbsi terganggu ).
  7. Liver ( hati ), Makin mengecil & menurunnya tempat penyimpanan, berkurangnya aliran darah.
h. Sistem musculoskeletal
Perubahan yang terjadi pada system muskuloskeletal lansia adalah
1)      Tulang kehilangan densikusnya Ù rapuh.
2)      resiko terjadi fraktur.
3)      kyphosis
4)      persendian besar & menjadi kaku.
5)      pada wanita lansia > resiko fraktur.
6)      Pinggang, lutut & jari pergelangan tangan terbatas.
7)      Pada diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek ( tinggi badan berkurang ).
  • Gerakan volunter Ù gerakan berlawanan.
  • Gerakan reflektonik Ù Gerakan diluar kemauan sebagai reaksi terhadap rangsangan pada lobus.
  • Gerakan involunter Ù Gerakan diluar kemauan, tidak sebagai reaksi terhadap suatu perangsangan terhadap lobus
  • Gerakan sekutu Ù Gerakan otot lurik yang ikut bangkit untuk menjamin efektifitas dan ketangkasan otot volunter.
i. Sistem kulit dan jaringan ikat
Perubahan yang terjadi pada system kulit dan jaringan ikat lansia adalah
1)      Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak.
2)      Kulit kering & kurang elastis karena menurunnya cairan dan hilangnya jaringan adiposa
3)      Kelenjar kelenjar keringat mulai tak bekerja dengan baik, sehingga tidak begitu tahan terhadap panas dengan temperatur yang tinggi.
4)      Kulit pucat dan terdapat bintik bintik hitam akibat menurunnya aliran darah dan menurunnya sel sel yang meproduksi pigmen.
5)      Menurunnya aliran darah dalam kulit juga menyebabkan penyembuhan luka luka kurang baik.
6)      Kuku pada jari tangan dan kaki menjadi tebal dan rapuh.
7)      Pertumbuhan rambut berhenti, rambut menipis dan botak serta warna rambut kelabu.
8)      Pada wanita > 60 tahun rambut wajah meningkat kadang kadang menurun.
9)      Temperatur tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang menurun.
10)  Keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak rendahnya akitfitas otot.
j. Sistem Reproduksi dan kegiatan sexual
Perubahan yang terjadi pada system reproduksi dan kegiatan sexual lansia adalah
1)      Sistem Reproduksi, perubahan yang terjadi adalah
a)      selaput lendir vagina menurun/kering.
b)      menciutnya ovarium dan uterus.
c)      atropi payudara.
d)     testis masih dapat memproduksi meskipun adanya penurunan secara berangsur berangsur.
e)      dorongan sex menetap sampai usia diatas 70 tahun, asal kondisi kesehatan baik.
2)      Kegiatan seksual, perubahan yang terjadi
Sexualitas adalah kebutuhan dasar manusia dalam manifestasi kehidupan yang berhubungan dengan alat reproduksi. Setiap orang mempunyai kebutuhan sexual, disini kita bisa membedakan dalam tiga sisi : 1) fisik, Secara jasmani sikap sexual akan berfungsi secara biologis melalui organ kelamin yang berhubungan dengan proses reproduksi, 2) rohani, Secara rohani Ù tertuju pada orang lain sebagai manusia, dengan tujuan utama bukan untuk kebutuhan kepuasan sexualitas melalui pola pola yang baku seperti binatang dan 3) sosial, Secara sosial Ù kedekatan dengan suatu keadaan intim dengan orang lain yang merupakan suatu alat yang apling diharapkan dalammenjalani sexualitas.
Sexualitas pada lansia sebenarnya tergantung dari caranya, yaitu dengan cara yang lain dari sebelumnya, membuat pihak lain mengetahui bahwa ia sangat berarti untuk anda. Juga sebagai pihak yang lebih tua tampa harus berhubungan badan, msih banyak cara lain unutk dapat bermesraan dengan pasangan anda. Pernyataan pernyataan lain yang menyatakan rasa tertarik dan cinta lebih banyak mengambil alih fungsi hubungan sexualitas dalam pengalaman sex.
2. PERUBAHAN MENTAL PADA USIA LANJUT

Streotipe psikologik orang lanjut usia adalah sebagai berikut
1.      Tipe Konstruktif
Orang ini mempunyai integritas baik, dapat menikmati hidupnya, mempunyai toleransi tinggi, humanistic, fleksibel (luwes), dan tahu diri. Biasanya sifat-sifat ini dibawa sejak muda. Orang ini dapat menerima fakta-fakta proses menua mengalami masa pension dengan tenang, juga dalam menghadapi masa akhir.
2.      Tipe Ketergantungan
Orang ini pasif, tidak berambisi, tidak mempunyai inisiatif dan bertindak tidak praktis. Biasanya dikuasai istrinya. Orang tipe ini senang mengalami pension, malahan biasanya banyak makan dan minum, tidak suka bekerja dan senang untuk berlibur.
3.      Tipe defensive
Orang tipe ini biasanya dulu mempunyai pekerjaan/jabatan tidak stabil, bersifat selalu menolak bantuan, dan seringkali emosinya tidak dapat dikontrol, memegang teguh terhadap kebiasaannya bersifat kompulsif aktif. Orang tipe ini takut menghadapi kenyataan menjadi tua dan tak menyenangi masa pension.
4.      Tipe Bermusuhan
Orang tipe ini menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalan, selalu mengeluh, bersifat agresif, curiga. Biasanya dahulu mempunyai pekerjaan yang tidak stabil. Menjadi tua dianggap tidak ada hal-hal yang baik, takut mati, iri hati pada orang yang muda.
5.      Tipe Membenci/Menyalahkan Diri Sendiri
Orang tipe ini bersifat kritis, menyalahkan diri sendiri, tidak mempunyai ambisi, mengalami penurunan kondisi sosioekonomi. Biasanya perkawinannya tidak bahagia, punya sedikit hobby, merasa menjadi korban dari keadaan.
Beberapa masalah di bidang psikogeriatri
1.      Kesepian
Biasanya dialami oleh seorang lanjut usia saat meninggalkan pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya saat itu juga mengalami berbagai penurunan status kesehatan.
2.      Duka cita
Meninggalnya pasangan hidup, seorang teman dekat atau bahkan seekor hewan yang sangat disayangi, bisa mendadak memutuskan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang lansia yang selanjutnya akan memicu terjadinya gangguan fisik dan kesehatannya.
3.      Depresi
Berupa apatis dan penarikan diri dari aktivitas social, gangguan memori, perhatian serta memburuknya kognitif secara nyata
4.      Gangguan cemas
Berupa fobia, gangguan panic, gangguan cemas umum, gangguan stress pasca trauma dan gangguan obsesif-kompulsif.
3. PENYAKIT SISTEMIK DAN IMUNISASI PADA USIA LANJUT
Sistem imunitas tubuh orang tua ditingkatkan melalui upaya imunisasi dan nutrisi. Tujuan imunisasi untuk memelihara sistem imunitas melawan agen infeksi. Imunisasi/vaksin mengandung substansi antigen yang sama dengan patogen asing agar sistem imun kenal patogen asing dengan menghasilkan sel T dan sel B. Influenza dan pneumonia adalah dua penyakit yang paling sering diderita oleh orang tua sehingga perlu diberikan vaksinasi influenza bagi mereka. Tetapi respons antibodi tubuh dan response sel T orang tua terhadap vaksin lebih rendah daripada orang muda mempengaruhi efek pemberian vaksin tersebut.
4. KEBUTUHAN NUTRISI PADA USIA LANJUT
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan gizi pada Lansia
  1. Berkurangnya kemampuan mencerna makanan akibat kerusakan gigi atau ompong.
  2. Berkurangnya indera pengecapan mengakibatkan penurunan terhadap cita rasa manis, asin, asam, dan pahit.
  3. Esophagus/kerongkongan mengalami pelebaran.
  4. Rasa lapar menurun, asam lambung menurun.
  5. Gerakan usus atau gerak peristaltic lemah dan biasanya menimbulkan konstipasi.
  6. Penyerapan makanan di usus menurun.
Masalah Gizi Pada Lansia
1.      Gizi berlebih
Gizi berlebih pada lansia banyak terjadi di negara-negara barat dan kota-kota besar. Kebiasaan makan banyak pada waktu muda menyebabkan berat badan berlebih, apalai pada lansia penggunaan kalori berkurang karena berkurangnya aktivitas fisik. Kebiasaan makan itu sulit untuk diubah walaupun disadari untuk mengurangi makan. Kegemukan merupakan salah satu pencetus berbagai penyakit, misalnya : penyakit jantung, kencing manis, dan darah tinggi.
2.      Gizi kurang
Gizi kurang sering disebabkan oleh masalah-masalah social ekonomi dan juga karena gangguan penyakit. Bila konsumsi kalori terlalu rendah dari yang dibutuhkan menyebabkan berat badan kurang dari normal. Apabila hal ini disertai dengan kekurangan protein menyebabkan kerusakan-kerusakan sel yang tidak dapat diperbaiki, akibatnya rambut rontok, daya tahan terhadap penyakit menurun, kemungkinan akan mudah terkena infeksi.
3.      Kekurangan vitamin
Bila konsumsi buah dan sayuran dalam makanan kurang dan ditambah dengan kekurangan protein dalam makanan akibatnya nafsu makan berkurang, penglihatan menurun, kulit kering, penampilan menjadi lesu dan tidak bersemangat.
Perencanaan Makanan Untuk Lansia
1.      Perencanaan makan secara umum, yaitu sebagai berikut
a.       Makanan harus mengandung zat gizi dari makanan yang beraneka ragam, yang terdiri dari : zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur.
b.      Perlu diperhatikan porsi makanan, jangan terlalu kenyang. Porsi makan hendaknya diatur merata dalam satu hari sehingga dapat makan lebih sering dengan porsi yang kecil.
c.       Banyak minum dan kurangi garam, dengan banyak minum dapat memperlancar pengeluaran sisa makanan, dan menghindari makanan yang terlalu asin akan memperingan kerja ginjal serta mencegah kemungkinan terjadinya darah tinggi.
d.      Batasi makanan yang manis-manis atau gula, minyak dan makanan yang berlemak seperti santan, mentega dll.
e.       Bagi pasien lansia yang prose penuaannya sudah lebih lanjut perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
  • Makanlah makanan yang mudah dicerna
  • Hindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan goring-gorengan
  • Bila kesulitan mengunyah karena gigirusak atau gigi palsu kurang baik, makanan harus lunak/lembek atau dicincang
  • Makan dalam porsi kecil tetapi sering
  • Makanan selingan atau snack, susu, buah, dan sari buah sebaiknya diberikan
  • Batasi minum kopi atau teh, boleh diberikan tetapi harus diencerkan sebab berguna pula untuk merangsang gerakan usus dan menambah nafsu makan.
  • Makanan mengandung zat besi seperti : kacang-kacangan, hati, telur, daging rendah lemak, bayam, dan sayuran hijau.
  • Lebih dianjurkan untuk mengolah makanan dengan cara dikukus, direbus, atau dipanggang kurangi makanan yang digoreng
2.      Perencanaan makan untuk mengatasi perubahan saluran cerna, untuk mengurangi resiko konstipasi dan hemoroid :
a.       Sarankan untuk mengkonsumsi makanan berserat tinggi setiap hari, seperti sayuran dan buah-buahan segar, roti dan sereal.
b.      Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 8 gelas cairan setiap hari untuk melembutkan feses.
c. Anjurkan untuk tidak menggunakan laksatif secara rutin , karena pasien akan menjadi tergantung pada laksatif.
Nutrisi dan Mineral–Mineral yang dapat Meningkatkan Sistem Imun Orang Tua
Beta-glucan. Adalah sejenis gula kompleks (polisakarida) yang diperoleh dari dinding sel ragi roti, gandum, jamur (maitake). Hasil beberapa studi menunjukkan bahwa beta glucan dapat mengaktifkan sel darah putih (makrofag dan neutrofil).
Hormon DHEA. Studi menggambarkan hubungan signifikan antara DHEA dengan aktivasi fungsi imun pada kelompok orang tua yang diberikan DHEA level tinggi dan rendah. Juga wanita menopause mengalami peningkatan fungsi imun dalam waktu 3 minggu setelah diberikan DHEA.
Protein: arginin dan glutamin. Lebih efektif dalam memelihara fungsi imun tubuh dan penurunan infeksi pasca-pembedahan. Arginin
mempengaruhi fungsi sel T, penyembuhan luka, pertumbuhan tumor, dans ekresi hormon prolaktin, insulin, growth hormon. Glutamin, asam amino semi esensial berfungsi sebagai bahan bakar dalam merangsang limfosit dan makrofag, meningkatkan fungsi sel T dan neutrofil.
Lemak. Defisiensi asam linoleat (asam lemak omega 6) menekan respons antibodi, dan kelebihan intake asam linoleat menghilangkan fungsi sel T. Konsumsi tinggi asam lemak omega 3 dapat menurunkan sel T helper, produksi cytokine.
Yoghurt yang mengandung Lactobacillus acidophilus dan probiotik lain. Meningkatkan aktivitas sel darah putih sehingga menurunkan penyakit kanker, infeksi usus dan lambung, dan beberapa reaksi alergi.
Mikronutrien (vitamin dan mineral). Vitamin yang berperan penting dalam memelihara system imun tubuh orang tua adalah vitamin A, C, D, E, B6, dan B12. Mineral yang mempengaruhi kekebalan tubuh adalah Zn, Fe, Cu, asam folat, dan  Se.
Zinc. Menurunkan gejala dan lama penyakit influenza. Secara tidak langsung mempengaruhi fungsi imun melalui peran sebagai kofaktor dalam pembentukan DNA, RNA, dan protein sehingga meningkatkan pembelahan sellular. Defisiensi Zn secara langsung menurunkan produksi limfosit T, respons limfosit T untuk stimulasi/rangsangan, dan produksi IL-2.
Lycopene. Meningkatkan konsentrasi sel Natural Killer (NK)
Asam Folat 9. Meningkatkan sistem imun pada kelompok lansia. Studi di Canada padasekelompok hewan tikus melalui pemberian asam folate dapat meningkatkan distribusi sel T dan respons mitogen (pembelahan sel untuk meningkatkan respons imun). Studi terbaru menunjukkan intake asam folat yang tinggi mungkin meningkatkan memori populasi lansia.
Fe (Iron). Mempengaruhi imunitas humoral dan sellular dan menurunkan produksi IL-1.
Vitamin E 10. Melindungi sel dari degenerasi yangterjadi pada proses penuaan. Studi yang dilakukanoleh Simin Meydani, PhD. di Bostonmenyimpulkan bahwa vitamin E dapat membantu peningkatan respons imun pada penduduk lanjut usia. Vitamin E adalah antioksidan yang melindungi sel dan jaringan dari kerusakan secara bertahap akibat oksidasi yang berlebihan. Akibat penuaan pada respons imun adalah oksidatif secara alamiah sehingga harus dimodulasi oleh vitamin E.
Vitamin C. Meningkatkan level interferon dan aktivitas sel imun pada orang tua, meningkatkan aktivitas limfosit dan makrofag, serta memperbaiki migrasi dan mobilitas leukosit dari serangan infeksi virus, contohnya virus influenzae.
Vitamin A. Berperan penting dalam imunitas nonspesifik melalui proses pematangan sel-sel T dan merangsang fungsi sel T untuk melawan antigen asing, menolong mukosa membran termasuk paruparu dari invasi mikroorganisme, menghasilkan mukus sebagai antibodi tertentu seperti: leukosit, air, epitel, dan garam organik, serta menurunkan mortalitas campak dan diare. Beta karoten (prekursor vitamin A) meningkatkan jumlah monosit, dan mungkin berkontribusi terhadap sitotoksik sel T, sel B, monosit, dan makrofag. Gabungan/kombinasi vitamin A, C, dan E secara signifikan memperbaiki jumlah dan aktivitas sel imun pada orang tua. Hal itu didukung oleh studi yang dilakukan di Perancis terhadap penghuni panti wreda tahun 1997. Mereka yang diberikan suplementasi multivitamin (A, C, dan E) memiliki infeksi pernapasan dan urogenital lebih rendah daripada kelompok yang hanya diberikan plasebo.
Vitamin D. Menghambat respons limfosit Th-1.
Kelompok Vitamin B. Terlibat dengan enzim yang membuat konstituen sistem imun. Pada penderita anemia defisiensi vitamin B12
mengalami penurunan sel darah putih dikaitkan dengan fungsi imun. Setelah diberikan suplementasi vitamin B12, terdapat peningkatan jumlah sel darah putih. Defisiensi vitamin B12 pada orang tua disebabkan oleh menurunnya produksi sel parietal yang penting bagi absorpsi vitamin B12. Pemberian vitamin B6 (koenzim) pada orang tua dapat memperbaiki respons limfosit yang menyerang sistem imun, berperan penting dalam produksi protein dan asam nukleat. Defisiensi vitamin B6 menimbulkan atrofi pada jaringan limfoid sehingga merusak fungsi limfoid dan merusak sintesis asam nukleat, serta menurunnya pembentukan antibodi dan imunitas sellular.
5. STRATEGI PENCEGAHAN KECELAKAAN PADA USIA LANJUT
Strategi pencegahan kecelakaan pada usia lanjut adalah sebagai berikut
1.      Identifikasi Faktor resiko, beberapa strateginya adalah
  • Perlu dilakukan assesmen keadaan sensorik, neurologic, musculoskeletal dan penyakit sistemik yang sering mendasari/menyebabkan jatuh.
  • Keadaan lingkungan yang berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan
  • Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan
  • Lantai rumah datar, tidak licin, bersihkan benda-benda kecil yang susah dilihat
  • Kamar mandi dibuat tidak licin, sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu mudah dibuka.
  • WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding.
  • Alat bantu berjalan yang dipakai lansia baik berupa tongkat, tripod, kruk atau walker harus dibuat dari bahan yang kuat tapi ringan, aman tidak mudah bergeser serta sesuai dengan ukuran tinggi badan lansia.
2.      Penilaian Keseimbangan dan gaya berjalan (Gait), beberapa strateginya adalah
  • Harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi
  • Bila goyangan badan saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka perlu bantuan latihan oleh rehabilitasi medic
  • Penilaian gaya berjalan juga harus dilakukan dengan cermat, apakah penderita menapakkan kakinya dengan baik, tidak mudah goyah, apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah cukup untuk berjalan tanpa bantuan.
3.      Mengatur/Mengatasi factor Situasional, beberapa strateginya adalah
  • Factor situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan
  • Factor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan penderita
  • Perlu diberitahukan pada penderita aktifitas fisik seberapa jauh yang aman bagi penderita, aktifitas tersebut tidak boleh melampaui batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil pemeriksaan kondisi fisik.
Bila lansia sehat dan tidak ada batasan aktifitas fisik, maka dianjurkan lansia tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko tinggi
6. PENCEGAHAN PENYAKIT GIGI DAN MULUT PADA USIA LANJUT
Perubahan pada gigi dan mulut  pada usia lanjut adalah
1.      Perubahan pada gigi dan jaringan penyangga
Pada lansia gigi permanen menjadi lebih kering, lebih rapuh, berwarna lebih gelap, permukaan oklusal gigi lebih datar karena pergeseran gigi selama mastikasi. Selain itu pada lansia juga terdapat atrofi pada ginggiva dan procesus alveolaris dan gigi mudah goyang dan tanggal.
2.      Perubahan pada intermaxilary space
Perubahan dentofasial, yaitu dagu masuk ke depan, keriput meluas dari sudut bibir dan sudut maksila. Bisa dicegah dengan restorasi gigi yang baik, pergantian gigi yang hilang dan control gigi tiruan secara periodic.
3.      Perubahan efisiensi alat kunyah
Hilangnya gigi geliga sehingga daya kunyah berkurang, akibatnya pengunyahan lebih lama, sehingga harus diberikan makanan lunak.
4.      Perubahan mukosa mulut dan lidah, yaitu
  • Atrofi pada bibir, mukosa mulut dan lidah, sehingga rentan terjadinya iritasi mekanik, kimia, bakteri
  • Aliran saliva berkurang, mukosa mulut kering dan berkurangnya retensi gigi tiruan
  • Atrofi papil lidah dan kehilangan tonus otot
Kelainan Gigi dan Mulut pada Lansia , adalah
1.      Kelainan Mukosa Mulut
2.      Kelainan dalam Mulut

GAGAL JANTUNG

Posted: Oktober 3, 2010 in Uncategorized
1


GAGAL JANTUNG
I.     Definisi
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus memiliki tampilan berupa gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktivitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti obyektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.
II.     Epidemiologi
Prevalensi gagal jantung pada keseluruhan populasi antara 2-30%. Angka prevalensi meningkat tajam pada populasi usia 75 tahun sehingga prevalensi pada kelompok usia 70-80 tahun sekitar 10-20%.
Empat puluh persen yang datang ke rumah sakit dengan diagnosis gagal jantung, meninggal atau mendapat perawatinapan kembali dalam waktu satu tahun pertama.
III.     Etiologi
Penyebab umum gagal jantung karena penyakit miokardial
Kelompok Penyebab Penyebab
Penyakit jantung koroner Beragam manifestasi
Hipertensi Sering berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri dan heart failure with preserved ejection fraction
Kardiomiopati Genetic atau non-genetik (termasuk kardiomiopati didapat, contoh miokarditis) kardiomiopati hipertrofi, kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati restriktif
Obat-obat Golongan sitotoksik
Toksin Alcohol, kokain, trace elements (kobalt, arsen)
Endokrin Diabetes mellitus, hipo/hipertiroid, sindroma Cushing, insufisiensi adrenal
Nutrisi Defisiensi tiamin, selenium, karnitin, obesitas, kaheksia
Infiltratif Sarkoidosis, amiloidosis
Lain-lain Penyakit chagas, infeksi HIV, kardiomiopati peripartum, gagal ginjal stadium akhir
IV.     Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung berdasarkan abnormalitas structural jantung (ACC/AHA) atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional (NYHA)
Klasifikasi gagal jantung menurut ACC/AHATingkatan gagal jantung berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung Klasifikasi fungsional NYHATingkatan berdasarkan gejala dan aktifitas fisik
Stadium AMemiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak terdapat gangguan structural atau fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala Kelas ITidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak napas.
Stadium BTelah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda atau gejala. Kelas IITerdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Stadium CGagal jantung yang simptomatik berhubungan dengan penyakit structural jantung yang mendasari Kelas IIITerdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak
Stadium DPenyakit jantung structural lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis maksimal (refrakter) Kelas IVTidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas
ACC = American College of CardiologyAHA = American Heart Association Hunt SA et al. Circulation. 2005;112:1825-1852 Nyha =New York Hearth AssociationThe Criteria Committee On The New York Heart Association Nomenclature And Criteria For Diagnosis of Disease of the Heart and Great Vessel.9ed. Boston, Mass:Little, Brown & Co;1994:253-256
V.     Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis gagal jantung
Tampilan klinis yang dominan Gejala Tanda
Edema perifer /kongesti Sesak nafas, kelelahan, mudah penat, anoreksia Edema perifer, peningkatan tekanan vena jugularis (JVP), edema paru, hepatomegali, asites, bendungan cairan (kongesti), kaheksia
Edema paru Sesak nafas yang sangat berat saat istirahat Ronki basah halus atau basah kasar di paru, efusi paru, takikardi, takipnu
Renjatan kardiogenik (gejala low output) Penurunan kesadaran, lemah, akral perifer dingin Perfusi perifer yang buruk, tekanan darah sistolik < 90mmHg, anuria atau oliguria
Tekanan darah yang sangat tinggi Sesak nafas Umumnya peningkatan tekanan darah, penebalan dinding ventrikel kiri dan ejeksi fraksi yang masih baik
Gagal jantung kanan Sesak nafas, mudah lelah Tanda-tanda disfungsi ventrikel kanan, peningkatan JVP, edema perifer, hepatomegali, asites
VI.     Patofisiologi
Pada Ny. F diperkirakan terdapat gangguan berupa insufisiensi katup mitral, yaitu katup yang membatasi antara ventrikel kiri dengan atrium kiri. Insufisiensi  katup mitral ini menyebabkan sebagian darah yang dipompa oleh ventrikel kiri saat berkontraksi masuk kembali ke dalam atrium kiri. Hal ini menyebabkan terganggunya penutupan katup mitral sesaat sebelum diastolic dimulai, hal ini menyebabkan bunyi bising yang disebut bisisng diastoling. darah di atrium kiri ini lama kelamaan akan terakumulasi dan akhirnya darah tersebut akan masuk ke vena pulmonal dan ke paru karena tidak tertampung lagi di jantung kiri. Dara yang terakumulasi di paru ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan kapiler paru, permeabilitas pembuluh darah paru meningkat dan sebagian plasma darah keluar dari pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema pulmonal, sehingga pasien kesulitan bernafas.
Darah yang tidak sepenuhnya masuk ke aorta dan sistemik menyebabkan curah jantung menurun dan kebutuhan jaringan sistemik akan darah tidak terpenuhi, sehingga tubuh berusaha mengkompensasi dengan cara meretensi air dan natrium. Awalnya retensi ini bisa menstabilkan keaadaan, tetapi lama kelamaan retensi ini terus terjadi sehingga aliran balik vena meningkat, ini menyebabkan permeabilitas sistemik meningkat dan terjadilah edema tungkai.VII.
V. Diagnosis
Algoritma diagnosis gagal jantung pada pasien yang belum diterapi


Keterangan
BNP                : B-type Natriuretic Peptide
NT-proBNP    : N-terminal pro-B-type Natriuretic Peptide
VIII.     Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung penegakan diagnosis gagal jantung adalah
  1. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).
Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung
Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis
Sinus takikardia Gagal jantung dekompensasi, anemia, demam, hipertiroidisme Penilaian klinis, pemeriksaan laboratorium
Sinus bradikardi Obat penyekat β, anti aritmia, hipotiroidisme, sindroma sinus sakit Evaluasi terapi obat, pemeriksaan laboratorium
Atrial takikardia/ flutter/ fibrilasi Hipertiroidisme, infeksi, gagal jantung dekompensasi, infark Perlambat konduksi AV, konversi medic, elektroversi, ablasi kateter, antikoagulasi
Aritmia ventrikel Iskemia, infark, kardiomiopati, miokarditis, hipokalemia. Hipomagnesemia, overdosis digitalis Pemeriksaan laboratorium, tes latihan beban, pemeriksaan perfusi, angiografi koroner, pemeriksaan EKG, ICD
Iskemia/ infark Penyakit jantung koroner Ekokardiografi, troponin, angiografi koroner, revaskularisasi
Gelombang Q Infark, kardiomiopati hipertrofi, LBBB, pre-exitasi Ekokardiografi, angiografi koroner
Hipertrofi ventrikel kiri Hipertensi, penyakit katup aorta, kardiomiopati hipertrofi Ekokardiografi, Doppler
Blok atrioventrikular Infark, intoksikasi obat, miokarditis, sarkoidosis, penyakit Lyme Evaluasi penggunaan obat, pacu jantung, penyakit sistemik
Mikrovoltase Obesitas, emfisema, efusi perikard, amiloidosis Ekokardiografi, rontgen thoraks
Durasi QRS >0,12 detik dg morfologi LBBB Disinkroni elektrik dan mekanik Ekokardiografi, CRT-P,CRT-D
Keterangan
LBBB: Left Bundle Branch Block
ICD: Implantable Cardioverter Defibrilator
CRT-P: Cardiac Resynchronization Therapy-Pacemaker
CRT-D: Cardiac Resynchronization Therapy-Defibrillator
2. Rontgen thoraks
Abnormalitas rontgen thoraks yang umum ditemukan pada gagal jantung
Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel kanan, atria, efusi perikard Ekokardiografi, Doppler
Hipertrofi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofi Ekokardiografi, Doppler
Tampak paru normal Bukan kongesti paru Nilai ulang diagnosis
Kongesti vena paru Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri Mendukung diagnosis gagal jantung kiri
Edema interstitial Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri Mendukung diagnosis gagal jantug kiri
Efusi pleura Gagal jantung dengan peningkatan tekanan pengisisan jika efusi bilateral, infeksi paru, pasca bedah/ keganasan Pikirkan etiologi non-kardiak (jika efusi banyak)
Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatik Mitral stenosis/ gagal jantung kronik
Area paru hiperlusen Emboli paru atau emfisema Pemeriksaan CT, spirometri, eko
Infeksi paru Pneumonia dapat sekunder akibat kongesti paru Tatalaksana kedua penyakit:ngagal jantung dan infeksi paru
Infiltrate paru Penyakit sistemik Pemeriksaan diagnostic lanjutan
3. Pemeriksaan Laboratorium
Abnormalitas pemeriksaan laboratorium yang sering dijumpai pada gagal jantung
Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis
Peningkatan kreatinin serum (>150 μ mol/L Penyakit ginjal, ACEI, ARB, antagonis aldosteron Hitung GFR, pertimbangkan mengurangi dosis ACEI/ARB/antagonis aldosteron, periksa kadar kalium dan BUN
Anemia (Hb<13 gr/dl pada laki-laki, <12 gr/dl pada perempuan Gagal jantung kronik, gagal ginjal, hemodilusi. Kehilangan zat besi atau penggunaan zat besi terganggu, penyakit kronik Telusuri penyebab, pertimbangkan terapi
Hiponatremia (<135 mmol/L) Gagal jantung kronik, hemodilusi, pelepasan AVP (Argine Vasopressin), diuretic Pertimbangkan restriksi cairan, kurangi dosis diuretic, ultrafiltrasi, antagonis vasopressin
Hipernatremia (>150 mmol/L) Hiperglikemia, dehidrasi Nilai asupan cairan, telusuri penyebab
Hipokalemia (<3,5 mmol/L) Diuretic, hiperaldosteronisme sekunder Risiko aritmia, pertimbangkan suplemen kalium, ACEI/ARB, antagonis aldosteron
Hiperkalemia (>5,5 mmol/L) Gagal ginjal, suplemen kalium, penyekat system RAA Stop obat-obat hemat kalium (ACEI/ARB, antagonis aldosteron), nilai fungsi ginjal dan pH, risiko bradikardia
Hiperglikemia (>200 mg/L) Diabetes, resistensi insulin Evaluasi hidrasi, terapi intoleransi glukosa
Hiperurisemia (>500 μmol/L) Terapi diuretic, gout, keganasan Allopurinol, kurangi dosis diuretic
BNP >400pg/mL, NT pro BNP>2000 pg/mL Tekanan dinding ventrikel meningkat Sangat mungkin gagal jantung
BNP <100 pg/mL, NT proBNP <400 pg/mL Tekanan dinding ventrikel normal Evaluasi ulang diagnosis, bukan gagal jantung jika terapi tidak berhasil
Kadar albumin tinggi (>45 g/L) Dehidrasi, myeloma Rehidrasi
Kadar albumin rendah (<30 g/L) Nutrisi buruk, kehilangan albumin melalui ginjal Cari penyebab
Peningkatan transaminase Disfungsi hati, gagal jantung kanan. Toksisitas obat Cari penyebab, kongesti liver, pertimbangkan kembali terapi
Peningkatan troponin Nekrosis miosit, iskemia berkepanjangan, gagal jantung berat, miokarditis, sepsis, gagal ginjal,emboli paru Evaluasi pola peningkatan, angiografi koroner, evaluasi kemungkinan revaskularisasi
Tes tiroid abnormal Hiper/hipotiroidisme,amiodaron Terapi abnormalitas tiroid
Urinalisis Proteinuria, glikosuria, bekteriuria Singkirkan kemungkinan infeksi
INR >2,5 Overdosis antikoagulan, kongesti hati Evaluasi dosis antikoagulan, niali fungsi hati
CRP > 10 mg/L, lekositosis neutrofilik Infeksi, inflamasi Cari penyebab
4. Ekokardiografi
5. Cardiac Magnetic Resonance Imaging (CMR)
6. Cardiac CT Scan
7. Radionuclie Ventriculography
8. Test Fungsi Paru
9. Uji aktivitas Fisik
10.  Monitoring EKG Ambulatoar (Holter)
11.  Kateterisasi Jantung
12.  Angiografi Koroner
13.  Biopsi Endomiokardial
IX.     Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada gagal jantung meliputi:
  1. Tatalaksana non-farmakologi
Tatalaksana non-farmakologi meliputi manajemen perawatan mandiri yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung. Topic-topik penting dalam edukasi pasien tentang keterampilan yang diperlukan dan perilaku perawatan mandiri yang benar meliputi:
a. Defenisi dan etiologi gagal jantung
b. Gejala dan tanda gagal jantung
c. Terapi farmakologi
d. Modifikasi factor resiko
e. Rekomendasi olah raga
f. Aktivitas seksual
g. Imunisasi
h. Gangguan tidur dan pernafasan
i. Kepatuhan
j. Aspek psikososial
k. Prognosis
2. Tatalaksana farmakologi
Tatalaksana farmakologi melalui
a. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
Indikasi: fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40% dengan atau tanpa gejala
b. Penyekat β
Indikasi pemberian penyekat β
  • Fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40%
  • Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)
  • ACEI/ARB ( dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah mencapai dosis optimal
  • Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretic, tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat
c. Antagonis Aldosteron
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
  • Fraksi ejeksi ventrikel kiri <40%
  • Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III-IV NYHA)
  • Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)
d. Angiotensin Receptor Blockers (ARBs)
Indikasi ARB
  • Fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40%
  • Sebagai pilihan alternative pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA) yang toleran ACEI
  • Pada pasien dengan gejala menetap (kelas fungsional II-IV NYHA) walaupun sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dengan penyekat β
  • ARB dapat menyebabkan perburukkan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama seperti ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk
e. Hydralazine dan Isosorbide (H-ISDN)
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN
  • Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
  • Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi
  • Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β dan ARB atau antagonis aldosteron
f. Digoksin
Indikasi pemberian digoksin
  • Fibrilasi atrial, dengan irama ventricular saat istirahat >80 x/menit atau saat aktifitas >110-120 x/menit
  • Irama sinus, fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40% ; gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA); dosis optimal ACEI dan/atau ARB, penyekat β dan antagonis aldosteron jika ada indikasi
g. Diuretik
  • Direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kengesti.
  • Dosis:
  • Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan tanda kongesti
  • Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering (tanpa retensi cairan), untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan dehidrasi
  • Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur dosis diuretic sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan harian dan tanda-tanda klinis dari retensi cairan
3. Tatalaksana Alat dan Pembedahan (Operasi)
Tatalaksana pembedahan yang dilakukan meliputi:
  • Deteksi Miokard Viabel
  • Operasi Katup Aorta
  • Operasi Katup Mitral
  • Cardiac Resynchronization Therapy (CRT)
  • Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD)
X.     Prognosis
Kondisi-kondisi yang berhubungan dengan prognosis buruk pada gagal jantung
  1. Demografik, meliputi:
    1. Usia lanjut*
    2. Etiologi iskemia*
    3. Pasca resusitasi pada kasus mati mendadak*
    4. Kepatuhan buruk
    5. Disfungsi ginjal
    6. Diabetes
    7. Anemia
    8. PPOK
    9. depresi
    10. Klinis, meliputi:
      1. Hipotensi*
      2. Kelas fungsional III-IV NYHA*
      3. Riwayat rawat rumah sakit sebelumnya karena gagal jantung*
      4. Takikardia ronki paru
      5. Gangguan nafas yang berhubungan dengan tidur
      6. Indeks massa tubuh rendah
      7. Stenosis aorta
      8. Elektrofisiologik, meliputi:
        1. Kompleks QRS lebar*
        2. Aritmia ventrikel kompleks*
        3. Hipertrofi ventrikel kiri
        4. Gelombang Q
        5. Takikardia
        6. Gelombang T berubah-ubah (alternans)
        7. Variasi laju jantung rendah
        8. Fibrilasi atrial
        9. Fungsional
          1. Kemampuan kerja berkurang*
          2. Puncak konsumsi oksigen rendah*
          3. Hasil buruk pada uji jalan enam menit
          4. Pernafasan periodik
          5. Laboratorium
            1. Peningkatan nyata kadar BNP/ NT proBNP*
            2. Hiponatremia*
            3. Peningkatan biomarker aktivasi neurohormonal*
            4. Peningkatan troponin*
            5. Peningkatan asam urat
            6. Peningkatan bilirubin
            7. Peningkatan kreatinin/BUN
            8. anemia
            9. Pencitraan
              1. Fraksi ejeksi ventrikel kiri rendah*
              2. Hipertensi pulmonal
              3. Tekanan pengisisan ventrikel kiri yang tinggi
              4. Gangguan fungsi ventrikel kanan
              5. Peningkatan volume ventrikel kiri
Keterangan
* : predictor kuat
DAFTAR PUSTAKA
Hippocrates Emergency Team (HET): Prosedur Tetap, 2010
PERKI : Pedoman diagnosis & Tatalaksana Gagal Jantung, Jakarta, 2009, MED
Price, Sylvia A, Lorraine M Wilson: Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Jakarta, 2005, EGC
1

  1. GAGAL GINJAL AKUT

1.1. DEFENISI
1.1.1 Definisi konseptual
a)      Penurunan akut laju filtrasi glomerulus (LFG) disertai oliguria dan gambaran klinik azotemia.
b)      Sindrom klinik disebabkan banyak etiologi dengan ciri khusus penurunan akut LFG disertai oliguria.
c)      Penurunan akut LFG akibat lanjut penyakit-penyakit ekstrarenal disertai gambaran klinik gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dan akumulasi toksin azotemia.
1.1.2 Definisi operasional
Kenaikan kreatinin serum minimal 0,5mg% perhari bila kreatinin serum awal <3mg% dan kreatinin serum terus meningkat selama follow up (minimal 2kali pemeriksaan)
1.2. ETIOLOGI

Pola etiologi maupun angka kejadian GGA akibat lanjut iskemik (nefropati vasomotor) berbeda di Negara berkembang dengan di Negara maju.
Di Negara maju, sesuai dengan pola penyakit serta sarana yang tersedia ternyata angka kejadian GGA didapat selama perawatan di Rumah Sakit (community acquired acute renal failure) berhubungan erat dengan tingginya frekuensi tindakan bedah berisiko tinggi. Angka kejadian GGA didapat selama perawatan di rumah sakit mencapai 4-5% dan hampir60% mempunyai hubungan dengan tindakan bedah, terutama bedah jantung, toraks, vaskuler, abdomen. Sebaliknya di Negara berkembang terutama di daerah tropika, community acquired acute renal failure masih merupakan masalah dengan angka kejadian masih cukup tinggi. Pada umumnya GGA didapat di masyarakat ini sebagai akibat lanjut dari sindrom sepsis, gastroenteritis akut, dan perdarahan terutama pada wanita masa nifas, infeksi virus (demam berdarah), leptospirosis, dan malaria tropika.
Di Negara berkembang dengan pola penyakit berbeda dan keterbatasan sarana untuk tindakan bedah invasive belum merupakan tindakan rutin ternyata community acquired acute renal failure tidak jarang ditemukan dengan angka kematian cukup tinggi. Penelitian selama 5tahun dari 3 RS di Bandung (RS Hasan Sadikin, RS Advent, RS Boromeus) ditemukan 34% pasien di ruang rawat intensif. Pasca bedah abdomen 59,3% dan urologi 28,4% merupakan penyebab penting dari community acquired acute renal failure. Penelitian menemukan bahwa paparan antibiotic aminoglikosida dan status hidrasi merupakan factor resiko utama GGA pasca bedah. Golongan aminoglikosida, sikolosforin dan media kontras sudah lama dikenal sebagai penyebab nekrosis tubular akut. NSAIDs dan rifampisin merupakan penyebab utama pada nefritis akut interstisial dan nekrosis tubular akut. Lesi histopatologi ginjal di atas sering ditemukan pada pasien GGA.
Pola etiologi gagal ginjal akut (GGA)
Patogenesis Etiologi
Prerenal ( Iskemik)
  1. Penurunan volume cairan ekstravaskuler (VCEV)
  2. Penurunan volume cairan intravaskuler (VCIV) atau redistribusi
  3. Penurunan curah jantung
  1. Lain-lain
  • Gastroenteritis akut, natriuresis dan luka bakar
  • Sindrom sepsis, perdarahan, hipoalbuminemia
  • Operasi jantung, tamponade jantung dan gagal jantung
  • Hipokalsemia, sindrom hepatorenal dan rabdomiolisis
Renal ( Intrinsik)
  1. Nekrosis akut tubuler (NAT) pasca iskemik (nefropati vasomotor)
  2. Nekrosis akut tubuler (NAT) dan nefrotoksik
  1. Glomerulopati

  1. Pielonefritis akut
  2. Nefritis interstisial akut
  1. Vaskulitis
  2. Obstruksi intratubular
  1. Koagulopati
  • Renjatan, trauma ganda, sindrom sepsis dan hipoksia
  • Antibiotika, analgetika, media kontras, logam berat, zat pelarut dan protein
  • Glomerulonefritis akut pasca streptokok, nefropati lupus, poliarteritis
  • Tipe berkomplikasi
  • Antibiotika, analgetika, leptospirosis, legionella, infeksi virus
  • Poliarteritis dan variasinya
  • Mieloma, tumor lysis syndrome, intoksikasi asam jengkol
  • Nekrosis kortikal akut, sindrom uremik hemolisis, purpura trombotik-trombositipenik dan GGA masanifas (postpartum)
Postrenal
  1. Obstruksi saluran kemih & ginjal


  1. Oklusi vaskuler
  • Urolitiasis, tumor (prostat dan pelvis), fibrosis periureter dan disfungsi kandung kemih
  • Trombosis arteria dan vena renalis
Obat-obat sebagai penyebab gagal ginjal akut (GGA)
Lesi Histopatologi Macam obat
Nekrosis tubular Aminoglikosida, siklosporin, media kontras, amfoterisin B, sefalosporin, sisplatin, cotrimoksazol, lithium, metildopa
Nefritis interstisial akut (sering disertai kerusakan tubulus) NSAIDs, penisilin, rifampisin, allopurinol, sefalosporin, simetidin, fenitoin, diuretika, sulfinpirazon, sulfonamide
Obstruktif uropati
  • Nekrosis papilla
  • Obstruksi urat
  • Obstruksi Kristal
  • Fibrosis periureter
  • Analgetika
  • Obat Sitostatika
  • Sulfonamide
  • Metisergid
Vaskulitis renal Amfetamin, penisilin, sulfonamid
Tanpa kelainan histopatologi (hiperkatabolisme) Tetrasiklin
1.3. KLASIFIKASI
1.3.1 GGA Nefrotoksik
Ditandai lesi nekrosis sel-sel tubulus proximal tetapi membrane basalis tubulus masih utuh. Nekrosis sel-sel tubulus proximal diduga mempunyai hubungan dengan efek langsung dari obat-obat yang sifatnya nefrotoksik seperti dijumpai pada aminoglikosida.

1.3.2 GGA Iskemik
Akibat lanjut dari prerenal renal failure, dinamakan juga nefropati vasomotor. Kelainan histopatologi ginjal terutama lesi-lesi iskemik tersebar mengenai tubulus proximal, tubulus distal dan collecting tubule. Nekrosis sel-sel tubulus selalu disertai kerusakan membrane basalis. Lesi ini diduga akibat tidak langsung dari nefrotoksin,yaitu perubahan hemodinamik pembuluh darah ginjal (vasokonstriksi). Disebut juga lower nephron nephrosis karena sebagian besar lesi mengenai nefron bagian distal
Kedua bentuk lesi ini selalu ditemukan bersamaan. Jaringan interstisial sering mengalami pembengkakan dan infiltrasi sel-sel radang. Dalam tubulus banyak mengandung silinder dan sel debris (sel yang telah mati).
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya, glomerulus tampak normal, tapi dengan mikroskop electron ditemukan endapan fibrin pada diding kapiler glomerulus. Penyembuhan kelainan histopatologi ginjal membutuhkan waktu rerata 1bulan, kecuali bila disertai nekrosis korteks. Pada nekrosis korteks ditemukan infark semua nefron disertai sarang-sarang nekrosis.
1.4. MANIFESTASI KLINIK
1. Gambaran klinik yang mempunyai hubungan dengan perubahan atau kelainan kimia darah
a. Fase Oliguria
Oliguria terjadi setelah gagalnya sirkulasi atau nefrotoksin. Waktu rerata 1-2minggu. Bila waktunya lebih dari 4minggu, diagnosis nekrosis tubular akut perlu ditinjau ulang. Oliguria yang lama mungkin berhubungan dengan nekrosis kortikal, glomerulonefritis atau vaskulitis.
1) Ureum darah
Pada pasien gagal ginjal kronik (GGK) yang menjalani hemodialisis intermitten, konsentrasi ureum darah dapat dipertahankan tinggi dengan diet kaya protein.tanpa gejala azotemia berat. Jadi, ureum darah bukan satu-satunya gejala klinis dari pasien GGK.
Hiperkatabolisme protein dibagi 3derajat :
a)      Katabolisme ringan : kenaikan ureum darah rata-rata 10mg% perhari
b)      Katabolisme sedang : kenaikan ureum darah antara 10-30mg% perhari
c)      Katabolisme berat : kenaikan ureum darah lebih dari 50mg% perhari, dinamakan hiperkatabolisme.
Pasien gagal ginjal tanpa penyulit, biasanya ureum darah naik 10-20mg% perhari dan tidak memerlukan dialysis. Hiperkatabolisme biasanya terdapat pada pasien gagal ginjal dengan kerusakan jaringan yang luas, seperti multiple fraktur, penyulit gagal ginjal, selama transfuse darah. Jika kenaikan ureum darah mencapai 100mg% perhari, dialysis adalah tindakan paling tepat.
Kenaikan konsentrasi kreatinin darah pada gagal ginjal tanpa penyulit 0,1-1,0mg% perhari. Kenaikan lebih dari 2mg% biasanya pada gagal ginjal dengan penyulit atau rabdomiolisis.

2) Natrium dan air
Mual muntah, anoreksia, dan haus merupakan keluhan yang sering dijumpai. Rehidrasi oral/parenteral yang tidak dibatasi sering menyebabkan hiponatremi (hiponatremi dilusi). Hiponatremi berat sering dengan gejala ; udem perifer, udem otak dan bendungan paru akut. Udem otak menyebabkan kejang disertai mual muntah (uremic convulsion) dan mempercepat aritmia.
3) Kalium
Hiperkalemi sering ditemukan pada fase oliguri walaupun tanpa intake kalium. Pada pasien GGA tanpa penyulit, kenaikan kalium serum <0,5mEq/L perhari. Kenaikan >1-2mEq/L dalam beberapa jam ditemukan pada pasien gagal ginjal dengan trauma jaringan yang luas.
Gejala klinik pada hiperkalemi berhubungan dengan kelainan jantung. Perubahan EKG baru terlihat bila kadar kalium serum >7mEq/L, letal pada kadar 10mEq/L. gejalanya berupa aritmia, misalnya fibrilasi ventrikel atau cardiac arrest.
Klasifikasi klinik hiperkalemi :
a)      Hiperkalemi ringan : 5,5-6,5mEq/L tanpa kelainan EKG
b)      Hiperkalemi sedang : 6,5-7,5mEq/L dengan/tanpa kelainan EKG (peaked T)
c)      Hiperkalemi berat : >7,5mEq/L atau kelainan EKG berupa hilang gel.P/interval QRS lebar/aritmia
4) Asidosis
Dikarenakan pembentukan fixed acid 50-100mEq/hari. Penurunan plasma bikarbonat ini dapat mencapai 1-2mEq/hari pada GGA. Pada GGA dengan asidosis klinik (nafas Kusmaull) biasanya plasma bikarbonat <15mEq/L
Sumber endogen dari fixed acid sebagian besar dari katabolisme protein. Fosfat, sulfat dan macam-macam anion asam organic dilepaskan dan tertimbun dalam tubuh. Asidosis merupakan salah satu factor yang mempercepat hiperkalemi dan harus segera dikoreksi.
5) Ion-ion kalsium, fosfat dan magnesium
Hipokalsemi (6,3-8,3mg%) biasanya muncul 2hari setelah oliguri. Mekanisme hipokalsemi smapai sekarang tidak diketahui. Hiperfosfatemi bisa terjadi pada GGA walaupun jarang melebihi 8mg%. hipermagnesemi sering dijumpai, tapi kadarnya tidak lebih dari 4mEq/L, kecuali bila mendapat pengobatan antacid aau laksansia.
b. Fase Diuresis
Pada fase diuresis dini faal ginjal belum pulih sempurna. Terjadi kenakan ureum dan kreatinin walaupun diuresis meningkat (1-3 liter perhari). Fase ini berlangsung 5-10hari.
Selama fase lanjut, diuresis mencapai 6liter perhari, osmolaritas urin=osmolaritas darah (280-295mOsm/L), keadaan ini disebut isostenuri.
KU lebih baik, nafsu makan meningkat, mual muntah hilang. Bila tidak diawasi, bisa terjadi kehilangan cairan dan elektrolit yang memperburuk faal ginjal. 25% dari seluruh angka kematian GGA terjadi pada fase diuresis. Hiperkalsemi dapat terjadi, tapi belum diketahui mekansimenya. Selama fase oliguri diekskresikan fosfat dalam jumlah banyak ke ekstraseluler sehingga bisa terjadi hiperfosfatemi. Hiperfosfatemi menyebabkan penimbunan kalsium di jaringan. Selama fase diuresis terdapat penurunan fosfat dan terjadi reabsorbsi deposit kalsium sehingga terjadi hiperkalsemi.
c. Fase Penyembuhan
Perbaikan faal ginjal yang sempurna akan memerlukan waktu lama, biasanya antara 3-12bulan dan tergantung dari usia pasien. Pasien usia lanjut jarang memperlihatkan penyembuhan sempurna dari faal ginjal terutama gangguan faal tubulus, yaitu konsentrasi dan kemampuan mengasamkan urin.
Bila selama fase pnyembuhan, ureum tetap tinggi, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan antara lain :
  • Diet tinggi protein
  • Telah menderita penyakit ginjal tertentu sebelum GGA
  • Infeksi sekunder ekstrarenal (pneumonia) atau saluran kemih dan pielonefritis
  • Telah terjadi nekrosis kortikal
2. Gambaran klinik yang tidak berhubungan dengan perubahan kimia darah
Gambaran klinik ini dapat mengenai semua organ tubuh
a. Pembuluh darah dan jantung
Kelainan jantung, misalnya aritmia disebabkan hiperkalemi atau keracunan digitalis. Gagal jantung kongestif berhubungan dengan penimbunan cairan di dalam tubuh walaupun beberpa factor,  misalnya anemia, hipertensi atau penyakit jantung yang telah diderita sebelumnya, mungkin memegang peranan sebagai pencetusnya.
Hipertensi jarang pada stadium awal GGA. Hipertensi biasanya ringan atau sedang, berhubungan dengan penimbunan cairan dan elektrolit atau kenaikan konsentrasi circulating angiotensin.
Perikarditis uremik jarang ditemukan, kecuali pada pasien dialysis intermitten. Perikarditis uremik lebih sering ditemukan pada GGK.
b. Neuropsikiatri
Manifestasi sangat bervariasi, seperti letargi, konfusi, agitasi, hiperrefleksi, kejang otot, gangguan kepribadian, stupor, dan akhirnya koma.


c. Saluran cerna
Anoreksi, mual muntah, sering ditemukan bersama akut abdomen, merupakan gejala pertama dari gagal ginjal. Pada stadium terminal, ditemukan stomatitis, gastritis, dan perdarahan per anum atau saluran cerna bawah.
d. Kelainan hemopoiesis
Beberapa jam setelah nekrosis sel-sel tubulus, terdapat peningkatan eritropoiesis. Depresi system eritropoiesis. Hemolusi dan hemodilusi menyebabkan anemi yang progresif pada pasien dengan oliguri yang lama. Sumsum tulang memperlihatkan granulopoisis aktif disertai depresi eritropoiesis, rasio myeloid dan eritroid tinggi. Depresi eritropoiesis disebabkan penurunan hormone eritropoietin. Penurunannya berhubungan dengan destruksi luas ginjal. Anemia normokrom normositer yang paling sering ditemukan.
Pada GGA stadium akhir sering dijumpai gangguan perdarahan. Gangguan perdarahan ini disebabkan :
  • Gangguan faal trombosit, berhubungan dengan kenaikan konsentrasi guanidinosuccinic acid (GSA)
  • Trombositopeni
  • Defisiensi factor pembekuan
  • Gangguan faal kapiler
1.5. PATOGENESIS
1. Teori Kebocoran Kembali (back-leak theory)

Pada nekrosis akut tubular LFG masih dalam batas normal. Nekrosis atau disfungsi sel tubuli menyebabkan filtrat glomerulus (inulin, kreatinin, air dan elektrolit) mengalir kembali ke dalam pembuluh darah peritubular melalui bagian yang nekrosis tadi. Dengan demikia, nilai penjernihan (clrearence) dari beberapa zat seperti anulin tidak dapat menilai faal ginjal yang sebenarnya.
Hipotesis ini disokong beberapa data dari percobaan ninatang, antara lain :
a)      Zat inulin tidak terkonsentrasi di sepanjang nefron
b)      GGA akibat zat uranil menyebabkan penurunan LFG
c)      Nekrosis sel-sel tubulus merupakan salah satu factor predisposisi kebocoran kembali filtrate glomerulus
Kelemahan hipotesis kebocoran kembali :
a)      Infuse NaCl 0,9% dapat mencegah GGA akibat HgCl2 walaupun telah terjadi nekrosis sel-sel tubulus
b)      Nekrosis sel-sel tubulus bukan gambaran utama dari GGA akibat iskemik dan nefrotoksik
2. Teori Obstruksi Tubulus
Obstruksi tubulus oleh sel-sel debris dan/ udem jaringan interstisial diduga menyebabkan penurunan LFG pada GGA. Nsmun, nefromegali tidak selalu ditemukan. Dilatasi abnormal tubulus proximal merupakan gambaran histopatologi utama dari GGA.
Beberapa data yang menyokong hipotesis ini :
a)      Silinder titik kasar sering ditemukan dalam lumen tubulus terutama pada pasien pigmenuria seperti mioglobinuria dan hemoglobinuria
b)      Kenaikan tekanan intratubular pada tubulus proximal yang telah mengalami dilatasi dibuktikan pada GGA akibat methemoglobin
c)      Sering ditemukan dilatasi beberapa lumen tubulus
d)     Diuretic, NaCl fisiologis, dan manitol dapat meningkatkan aliran tubulus dan mencegah gagal ginjal persisten
e)      Nefromegali sesuai dengan derajat obstruksi
Kelemahan teori obstruksi tubulus :
a)      Tidak selalu ditemukan kenaikan tekanan intratubular proximal dari obstruksi
b)      Pada kondisi tertentu, nefromegali menetap walaupun sudah masuk ke fase penyembuhan
3. Teori Vaskuler
a. Teori vasokonstriksi arteriol afferent
Seperti diketahui, glomerulus sebagian besar berada di korteks ginjal. Vasokonstriksi arteriol afferent menyebabkan redistribusi aliran darah, sehingga darah mengalir ke medulla ginjal. Hal ini menyebabkan LFG menurun, penurunan tekanan filtrasi glomerulus dan filtrate glomerulus.
Teori ini diperkuat adanya perubahan histopatologi ginjal berupa lesiiskemik dan tubuloreksik.
b. Teori vasodilatasi arteriol efferent
Vasodilatasi arteriol efferent menyebabkan penurunan tekanan filtrasi dan hidrostatik glomerulus sedangkan tonusnya tidak mengalami perubahan. Tetapi, mekanisme penurunan aliran darah ke kortkes ginjal masih belum jelas.
c. Teori penurunan permeabilitas membrane basalis glomerulus
Penelitian dengan menggunakan scanning electrone microscope menemukan kelainan struktur epitel kapiler glomerulus. Perubahan struktur membrane basal glomerulus ini diduga menyebabkan penurunan LFG dan oliguri walaupun tekanan filtrasi dan aliran darah ginjal dipertahankan dalam batas normal.
4. Teori Pembengkakan Sel
Obstruksi arteri renalis selama 60-120menit dapat menyebabkan pembengkakan sel-sel endotel kapiler glomeruli. Pembengkakan sel menetap walaupun obstruksi arteri renalis telah dilepaskan. Obstruksi vaskuler menyebabkan iskemia dan hipoksia sel-sel disertai gangguan metabolisme terutama kenaikan konsentrasi beberapa zat yang terlarut.
Cairan ekstrasel bergerak ke intrasel diikuti pembengkakan sel-sel endothelial. Pembengkakan ini akan mempercepat dan memperberat obstruksi vaskuler dan akhirnya nekrosis jaringan.
5. Teori System Renin-Angiotensin
Pengendalian sekresi rennin tergantung 4faktor :
  1. Baroreseptor intrarenal
  2. Macula densa
  3. Peranan saraf simpatetik
  4. Peranan angitensin II

1.6. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan.
1.7. DIAGNOSIS BANDING
1. Oliguria
Oliguri dapat disebabkan oleh penyakit ginjal atau di luar ginjal (pre atau post renal).
Tabel analisis urin khusus untuk diagnosis banding oliguri
Macam Pemeriksaan Pre-renal GNA atau vaskuler NAI NAT Post renal







Osmolaritas Pekat pekat isoosmotik isoosmotik Isoosmotik
Natrium <20 <20 variasi >20 Variasi
RFI <1 - - >2,3 >2,3
FENa+ <1 - - >2,3 >2,3
BUN/Scr >15/1 >15/1

>15/1
Ucr/Scr >15/1 >15/1 <15/1 <15/1 <15/1
Proteinuria Normal eritrosituria silinder eritrosit Leukosituriasilinder leukosit silinder titikkasar sel epitel
sel debris
Normal
GNA = glomerulonefritis akut, NAI = nekrosis tubular interstisial, NAT = nekrosis tubular akut
Sampel            : urin sewaktu
RFI (Renal Failure Indexes) =              U Na+
U cr / S cr
U Na+ / S Na+
FENa+ (Fraction Excretion Na+) =                              X100
U cr / S cr
2. Acute on chronic renal failure
Diagnosis ini perlu dipertimbangkan jika :
a)      Terdapat kombinasi GGA dengan GGK
b)      Ditemukan gejala klinik yang memperberat faal ginjal seperti gagal jantung kongestif, ISK (pielonefritis), dan dehidrasi.
3. Retensi urin
Retensi urin dan oliguri sulit dibedakan pada pasien sangat gemuk atau meteorismus, kecuali bila dilakukan kateterisasi.
1.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
1. Analisis urin rutin, yaitu;

  • Proteinuria 1-3 (+), silinder titik kasar, macam-macam sel (debris, lekosit, eritrosit)
  • Berat jenis
2. Analisis urin khusus, yaitu:
Natrium Na+, ureum, kreatinin, osmolaritas, fibrin degradation product (FDP)
3. Biakan urin
2. Pemeriksaan darah
1. Darah rutin, yaitu:
Hemoglobin, lekosit, LED, hemtokrit, morfologi eritrosit
2. Darah khusus, yaitu:
FDP serum, trombosit, fibrinogen, waktu protrombin, sklektrolit
3. Faal ginjal, yaitu:
LFG (ureum dan kreatinin serum), Penjernihan kreatinin, Faal tubulus
3. Pemeriksaan EKG
Yaitu pemeriksaan elektrokardiogram rutin pada setiap pasien gagal ginjal akut, untuk menentukan diagnosis dan tindak lanjut hiperkalemia.
4. Prosedur pencitraan
Tujuannya untuk menentukan diagnosis banding, yaitu:
  1. Nekrosis tubular akut (nefropati vasomotor)
  2. Nefrosis akut tubular nefrotoksik
  3. Gagal ginjal akut glomerulopati
  4. Nefropati obstruktif akut (GGA post renal)
Prosedur pencitraan ginjal yang digunakan seperti foto polos perut, USG ginjal dan saluran kemih, CT Scan, dan renografi hippuran.

1.9. PENATALAKSANAAN
1. Fase Inisial
Parameter fase inisial adalah trutama kenaikan kreatinin serum, karena mempunyai hubungan parallel dengan kerusakan sel-sel epitel tubulus.
Memelihara dan mempertahankan keadaan hidrasi normal adalah langkah awal terapi fase inisial GGA. Bila pemberian diuretic gagal memelihara hidrasi, harus dilanjutkan dengan manitol dan obat vasoaktif. Berikan manitol 12,5gr IV selama 5menit. Takaran dapat dinaikkan 100gr dalam dekstrose 5% sebanyak 1liter IV drip selama 24jam. Kalau gagal, berikan diuretic takaran tinggi, misalnya furosemid 240mg IV selama 30menit.
Panduan dan sasaran proses pengobatan fase inisial GGA
Program pengobatan (tindakan) Sasaran
Memelihara hidrasi normal-          Infuse NACl 0,9% Diuretic :
-          Osmotic
-          Loop
Obat vasoaktif :
-          Dopamine takaran rendah
-          Atrial natriuretik peptide (ANP)
Obat sitoprotektif
-          Penyapu radikal bebas
-          Penghambat zantina oksidase
-          Ca antagonis
-          Prostaglandin
Mencegah lebih lanjut kerusakan sel-sel epithelial tubulusPemeliharaan jumlah dieresis Pemeliharaan perfusi ginjal
Preservasi integritas sel
Pemberian vasoaktif seperti dopamine takaran rendah 0,5-2 µg/kgBB diperlukan untuk memelihara perfusi ginjal. Obat sitoprotektif bertujuan mengurangi angka kematian GGA.
2. Fase Pemeliharaan
a. Memenuhi kebutuhan cairan yang adekuat
Kebutuhan cairan yang adekuat sama dengan jumlah cairan yang keluar dari tubuh (urin dan usus) ditambah insensible loss (keringat) dan kehilangan endogen akibat oksidasi (lemak, protein, karbohidrat).
Pada suhu normal, insensible loss 0,5-0,6ml/kgBB. Bila demam, kehilangan cairan 13% setiap kenaikan 10C.
Penimbangan berat badan setiap hari merupakan panduan praktis untuk mengetahui kebutuhan cairan yang memadai. Kenaikan/penurunan berat badan 0,4kg/hari harus diwaspadai.
b. Memelihara keseimbangan elektrolit
1)      Kalium
Pengobatan hiperkalemi tergantung dari derajatnya :
a)      Hiperkalemi ringan
Konservatif dengan diuretic furosemid 40-80mg IV dengan/tanpa sodium polystyrene sulfonate. Sodium polystyrene sulfonate diberikan 20-40gr dalam 100ml larutan. Untuk mencegah obstipasi berikan 50ml sorbitol 20-70% peroral.
b)      Hiperkalemi sedang
Jika terapi di atas kurang memberikan respon, dapat dilanjutkan pemberian glukosa dan insulin. Regular insulin dengan takaran 10-20U dalam dekstrose hipertonis selama 1jam dapat menurunkan K serum 0,5-1,0mEq/L
c)      Hiperkalemi berat
Segera berikan 1-3ampul @10ml larutan glukonas kalsikus 10% IV. Dalam beberapa menit sudah terjadi perpindahan K dari intrasel ke ekstrasel. Bila hiperkalemi berat sudah turun ke sedang/ringan, berikan furosemid IV dan sodium polystyrene sulfonate oral.
2)      Natrium
Hiponatremi dilusi disertai kelebihan cairan merupakan presentasi darurat medic.
Beberapa pilihan tindakan :
- Forced diuresis. Furosemid takaran tinggi 240mg IV
- Ultrafiltrasi dengan mesin hemodialisis
Ultrafiltrasi manual atau sekuensial harus hati-hati dengan pemantauan kalium serum dan hemodinamik. Dialysis peritoneal (dengan larutan hipertonis) cukup efektif walau butuh waktu lebih lama daripada mesin hemodialisis.
3)      Kalsium dan fosfor
Pemberian kalsitriol oral atau IV untuk mengatasi hipokalsemi dan hiperfosfatemi.
c. Mencegah dan mengendalikan komplikasi
1)      Perdarahan saluran cerna
Indikasi klinik :
-       Anemia, hematemesis dan melena biasanya baru tampak bila penyakit sudah berat
-       Penurunan hematokrit
-       Ketidaksesuaian ureum dan kreatinin serum
Tindakan pencegahan
-       Antagonis reseptor histamine-2
2)      Penyakit kardiovaskuler
3)      Sindrom sepsis
3. Fase Penyembuhan

1.10. PROGNOSIS
Prognosis dari GGA tergantung dari beberapa factor :
1. Penyakit dasar
Pada umumnya hospital acquired acute renal failure (ARF) mempunyai prognosis lebih buruk daripada community acquired ARF.
2. Komplikasi, terutama perdarahan saluran cerna dan penyakit kardiovaskuler, infeksi sekunder disertai sindrom sepsis.
3. Oliguri lebih dari 24jam
4. Usia >50tahun
5. Diagnosis dan pengobatan terlambat
Prognosis GGA buruk, jika :
  1. Infeksi sekunder disertai sepsis
  2. GGA disertai gagal multi organ
  3. Usia >50tahun terutama disertai penyakit kardiovaskuler
  4. Program dialysis profilak terlambat

1.11. KOMPLIKASI

Komplikasi yang mungkin diperoleh pasien yang menderita gagal ginjal akut adalah
1. Kimia darah dan toksin azotemia
Terjadi perubahan kimia darah dan toksin azotemia seperti kelebihan cairan ( overhydration), aritmia jantung, dan perdarahan terutama perdarahan saluran cerna, yang terakhir dapat menyebabkan penurunan volume cairan ekstraseluler dan memperburuk faal ginjal.
2. Infeksi sekunder
Infeksi sekunder dari saluran nafas seperti pneumoni, infeksi saluran kemih dan ginjal karena beberapa tindakan seperti kateterisasi atau sistoskopi, pielonefritis, dan infeksi dari luka-luka local (infuse, akses vascular) sering menyebabkan kematian terutama bila disertai septikemia
2. GAGAL GINJAL KRONIK



2.1. DEFENISI
Menurut Kher, gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan penurunan fungsi ginjal yang bersifat tidak reversible dengan akibat terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).
Menurut Papadopoulou, gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan kerusakan ginjal yang tidak mampu lagi mempertahankan homeostasis tubuh.
2.2. ETIOLOGI
Penyebab GGK pada anak dapat dibagi menjadi:
1. Kelainan Congenital
Berupa hipoplasia renal, dysplasia renal, uropati obstruktif
2. Kelainan Herediter
Berupa nefronoftisis juvenile, nefritis herediter, sindrom alport
3. Kelainan Didapat
Glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulopati membranosa, kelainan metabolit (oksalosis, sistinosis)
Menurut laporan EDTA (European Dialysis and Transplantation Association), penyebab tersering GGK pada anak adalah:
  • Glomerulonefritis dan pielonefritis (24%). Dari kelompok ini yang tersering adalah uropati obstruktif congenital dan nefropati refluks (>60%)
  • Penyakit herediter (15%)
  • Penyakit sistemik (10,5%)
  • Hipoplasia ginjal (7,5%)
  • Penyakit vascular (3%)
  • Penyakit lainnya (9%)
  • Tidak diketahui etiologi (7%)
Gagal ginjal kronik yang timbul pada anak di bawah 5 tahun sering ada hubungannya dengan kelainan anatomis ginjal, sedangkan GGK yang timbul pada anak di atas 5 tahun dapat disebabkan oleh penyakit glomerular (glomerulonefritis, sindrom hemolitik uremik) dan kelainan herediter.
Penyebab gagal ginjal kronik pada dewasa adalah
  1. Penyakit infeksi tubulointerstitial, contoh penyakitnya adalah pielonefritis kronik atau refluks nefropati
  2. Penyakit peradangan, contohnya glomerulonefritis
  3. Penyakit vascular hipertensif, contohnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
  4. Gangguan jaringan ikat, contohnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif
  5. Gangguan congenital dan herediter, contohnya penyakit ginjal polikistik, dan asidosis tubulus ginjal
  6. Penyakit metabolic, contohnya diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
  7. Nefropati toksik, contohnya penyalahgunaan analgesic dan nefropati timah
  8. Nefropati obstruktif, contohnya pada traktus urinarius bagian atas adalah batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal. Pada traktus urinarius bagian bawah adalah hipertropfi prostat, striktur uretra, anomaly congenital leher vesika urinaria dan uretra.
2.3. KLASIFIKASI

Pada GGK, beratnya gangguan fungsi ginjal bervariasi. Berdasrkan persentase laju filtrasi glomerulus (LFG) yang tersisa, GGK dibagi atas 4 tingkatan yaitu:
1. Gagal Ginjal Dini
Ditandai dengan berkurangnya sejumlah nefron sehingga fungsi ginjal yang ada sekitar 50-80% dari normal.
Tidak tampak gangguan klinis karena ada adaptasi ginjal dan respon metabolic mengkompensasi penurunan faal ginjal.
2. Insufisiensi Ginjal Kronik
Fungsi ginjal berkisar antara 25-50% dari normal. Gejala yang timbul adalah gangguan elektrolit, gangguan pertumbuhan dan keseimbangan kalsium dan fosfor. LFG berada di bawah 89 ml/menit/1,73 m2.
3. Gagal Ginjal Kronik
Fungsi ginjal berkurang hingga 25% dari normal dan telah menimbulkan berbagai gangguan seperti asidosis metabolic, osteodistrofi ginjal, anemia, hipertensi dan sebagainya. LFG berada di bawah 30 ml/menit/1,73 m2.
4. Gagal Ginjal Terminal
Fungsi ginjal tinggal 12% dari normal. LFG menurun sampai <10 ml/menit/1,73 m2 dan pasien memerlukan terapi dialysis atau transplantasi ginjal.
2.4. MANIFESTASI KLINIK
Gejala klinis yang timbul pada GGK merupakan manifestasi dari:
  1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
  2. Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksin uremik
  3. Kurangnya hormone ginjal seperti eritropoietin dan bentuk aktif vitamin D (1,25 dihidroksivitamin D3)
  4. Abnormalitas respon end organ terhadap hormone endogen (hormone pertumbuhan).
Pada pasien GGK yang disebabkan penyakit glomerulus atau kelainan herediter, gejala klinis penyebab awal dapat diketahui, sedangkan gejala GGK sendiri tersembunyi dan hanya menunjukkan gejala no-spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah, polidipsi, poliuri, dan gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan anak tampak pucat, lemah, menderita hipertensi, azotemia, asidosis, hiperkalemia, gangguan pertumbuhan, osteodistrofi ginjal, anemia, gangguan perdarahan, hipertensi, dan gangguan neurologi.
2.5. PATOGENESIS
Factor yang berperan menyebabkan penurunan fungsi ginjal progresif antara lain kerusakan akibat proses imunologis yang terus berlangsung, hiperfiltrasi hemodinamik dalam mempertahankan glomerulus, diet protein dan fosfat, proteinuria yang persisten, dan hipertensi sistemik.
Beberapa mekanisme penurunan fungsi ginjal adalah
  1. Penyebab apapun ” nefron rusak ” peningkatan filtrasi glomerulus pada nefron yang tidak rusak ” kerusakan nefron berlanjutkan nefron
  2. Penumpukan kompleks imun atau antibody anti membrane basal glomerulus ” inflamasi glomerulus persisten ” pembentukan jaringan parut ” penurunan fungsi ginjal
  3. Peningkatan pasase protein melewati dinding kapiler ” peningkatan tekanan hidrostatik pada integritas dinding kapiler ” sel mesangium dan epitel sklerosis ” peningkatan beban ekskresi pada nefron yang tersisa ” kerusakan nefron berlanjut
  4. Proteinuria menetap dan atau hipertensi sistemik ” kerusakan dinding kapiler glomerulus ” sklerosis glomerulus ” hiperfiltrasi “merusak glomerulus (mekanisme belum jelas)
2.6. PENATALAKSANAAN

Secara garis besar, penatalaksanaan dapat dibagi, yaitu:
1. Pengobatan Konservatif
Tujuan pengobatan konservatif adalah memanfaatkan faal ginjal yang masih ada, menghilangkan berbagai factor pemberat, dan bila mungkin memperlambat progresifitas gagal ginjal.
Pengobatan konservatif terdiri dari
  1. Mengatur masukan cairan yang adekuat
  2. Mengendalikan hipertensi
  3. Mengobati anemia, gangguan keseimbangan elektrolit, asidosis, osteodistrofi ginjal, gagal jantung, gangguan saraf dan otot, dan hiperurikemia
  4. Menghindarkan pemakaian kontras radiologi yang tidak perlu dan zat-zat toksin lainnya
Pengobatan konservatif masih mungkin dilakukan bila klirens kreatinin > 10 ml/menit/1,75 m2, tapi bila sudah <10 ml/menit pasien tersebut harus diberikan pengobatan pengganti
2. Pengobatan Pengganti
Prinsip pengobatan pengganti adalah melakukan dialysis (baik dialysis peritoneal maupun hemodialisis) dan transplantasi ginjal.
Tindakan Dialysis
Indikasi absolute untuk tindakan awal dialysis Kronik pada anak dengan gagal ginjal adalah
1)      Hipertensi tidak terkendali, contohnya hipertensi ensefalopati
2)      Gagal jantung bendungan, contohnya kardiomiopati
3)      Perikarditis, contohnya tamponade
4)      Neuropati perifer, contohnya parestesia dan disfungsi motorik
5)      Osteodistrofi ginjal, contohnya kalsifikasi tersebar dan deformitas tulang
6)      Depresi sumsum tulang, contohnya anemia berat dan leukopenia
7)      Trombositopenia
Tindakan dialysis, baik peritoneal maupun hemodialisis, harus dilakukan sebelum LFG mencapai 10 ml/menit/1,73 m2 dan hasilnya akan lebih baik daripada LFG < 5ml/menit/1,73 m2 yang disertai manifestasi klinis yang berat.
Transplantasi Ginjal
Indikasi transplantasi ginjal adalah pasien gagal ginjal tahap akhir dengan gagal tumbuh berat atau mengalami kemunduran klinis setelah mendapat pengobatan yang optimal.
1. Mengatasi Factor-faktor yang Reversibel
Factor-faktor reversible yang masih bisa diatasi adalah kehilangan garam, air hipertensi, infeksi traktus urinarius, obstruksi, hiperkalemia, dan gagal jantung.
2. Mencari dan Mengatasi Faktor-faktor yang Memperberat
Tata kerja ini meliputi kunjungan teratur ke klinis dan pemeriksaan biokimiawi periodic
3. Penggunaan Obat pada Gagal Ginjal Kronik
Karena terdapat gangguan faal ginjal, maka perlu dilakukan pemilihan dan pengaturan dosis obat. Hal ini dapat dilakukan dengan:
  • Dosis tiap kali pemberian diperkecil, sedangkan interval pemberiannya tetap
  • Dosis tetap, interval pemberian diperpanjang
  • Gabungan 1 dan 2
2.7. PROGNOSIS
Transplantasi ginjal pada anak dibawah 6 tahun memperoleh prognosis 5 year actuarial survival sebanyak 90% setelah dipakai siklosporin A sebagai obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan tubuh.
0

  1. ANATOMI DONDING ABDOMEN
Abdomen adalah yaitu bagian batang badan yang terdapat di kaudalis dada dan di bawah dibatasi oleh lig.inguinale & panggul. Rongga yang terdapat di dalam abdomen disebut cavum abdominis.
Alat tractus digestivus yang terdapat dalam cavum abdomen adalah:
  1. Gaster.
  2. Duodenum.
  3. Yeyenum.
  4. Ileum.
  5. Caecum & appendix vermiformis.
  6. Colon Asc.
  7. Colon Trans.
  8. Colon Desc
  9. Colon Signoid
Dinding perut dibentuk oleh Di bentuk oleh :
  1. Depan, oleh Otot-otot lurus perut
  2. Samping, oleh Otot-otot serong perut.
  3. Belakang, oleh m.quadratus lumborum, Otot-otot punggung, Columna vertebralis
Otot-otot lurus perut adalah
  1. m.rectus abdominis
  2. M.pyranidalis
Otot-otot serong perut adalah
  1. m.obligus abdoninis externus (lapisan dinding luar perut)
  2. m.obligus abdominis internus. (lapisan tengah dinding perut )
  3. m.transversus abdominis (lapisan yang terdalam)
otot-otot dinding belakang perut adalah
  1. m.quadratus lumborum.
  2. m.psoas mayor.
  3. m.psoas minor.
Bidang khayal pada dinding abdomen adalah
1. Bidang Vertikal
  • Bidang Median
  • Bidang Vertikal Lateral (lanjutan dari thorak)
2. Bidang Horizontal
  • Bidang Transpylori, bidang melalui pertengahan antara pusat dengan junctura xyphosternalis melalui lumbalis I.
  • Bidang Subcostalis, bidang yang melalui arcus costarum yang terendah kira-kira setinggi bagian bawah cor.vert. LIII.
  • Bidang Umbilicalis, bidang yang melalui pusat kira 2½ – 3½ Cm. diatas bidang transtubercularis.
  • Bidang Transtubercularis, bidang yang melalui crista iliaca tertinggi ki & ka. melalui bagian bawah corpus vert.lumbal V.
  • Bidang Spinosi, bidang yang melalui spina iliaca ant. sup. ki-ka.

Regio abdomen adalah
1. Regio ABD Cranialis, yaitu
  • Regia hypochondrica dextra.
  • Regio epigastrica.
  • Regio hypochondrica sinistra.
2. Regio Mesogastrica
  • Regio abd lateralis dextra.
  • Regio umbilicalis
  • Regio abd lateralis sinistra
3. Regio Hypogastrica
  • Regio inguinalis dextra.
  • Regio pubica.
  • Regio inguinalis sinistra.

2. GER (GASTROESOPHAGEAL REFLUX) dan GERD (GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE)
Refluks gastroesofagus (GER) didefinisikan sebagai kembalinya isi lambung ke esofagus atau lebih proksimal.Isi lambung tersebut bisa berupa asam lambung, udara maupun makanan. RGE ini bisa murni akibat gangguan secara fungsional tanpa adanya kelainan lain.Bisa juga akibat adanya gangguan struktural yang terdapat pada esofagus maupun gaster yang mempengaruhi penutupan sfingter esofagus bawah (SEB), seperti kelainan anatomi kongenital, tumor, komplikasi operasi, tertelan zat korosif dan lain-lain.
GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) didefenisikan sebagai refluks yang meningkat, baik dari frekuensi dan lamanya, jika terjadi regurgitasi bahan-bahan refluks dan kehilangan kalori, atau bahan-bahan refluks merusak mukosa esofagus dan menyebabkan esofagitis.
Tabel  Perbedaan gambaran klinis GER dan GERD pada bayi dan anak
GER (Gastroesophageal Reflux) GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)
Regurgitasi dengan BB normalGejala dan tanda esofagitis tidak ada Gejala gangguan pernafasan tidak ada
Gejala gangguan neurologis tidak ada
Regurgitasi dengan penurunan BBGelisah persisten (persistent irritability) bayi terlihat kesakitan Sakit dada bawah, sakit menelan, pirosis pada anak
Hematemesis, anemia defisiensi besi.
Apnu, sianosis pada bayi, mengalami Pnemonia aspirasi dan berulang, Batuk kronis, Stridor
Posisi leher menjadi miring
Penyebab terjadinya GER adalah sebagai berikut
1. Tekanan lambung lebih tinggi dari pada tekanan esofagus.
1)      Obstruksi
  • Stenosis pilorus
  • Tumor abdomen
  • Makan terlalu banyak
2)      Peningkatan peristalsis, karena gastroenteritis
3)      Peningkatan tekanan abdomen
  • Obesitas.
  • Memakai pakaian terlalu ketat
  • Pemanjangan waktu pengosongan lambung
2. Tekanan lambung sama dengan tekanan esophagus
1)      Gangguan faal, disebabkan saluran esophagus bawah longgar
  • Chalasia
  • Adult-ringed esophagus
  • Obat–obat asma
  • Merokok
  • Pemakaian pipa nasogastrik
2)      Hiatal hernia
Sebagian isi lambung memasuki rongga dada dan menyebabkan posisi lambung tidak normal.
3. Faktor–faktor lain yang mempengaruhi
  • Penyakit gastrointestinal lain ( penyakit Crohn )
  • Eradikasi Helicobacter pylori
  • Faktor genetik
  • Reaksi respon imun berlebihan
  • Obat–obat yang mempengaruhi asam lambung; NSAIDs, calcium
  • channel blockers, dan lain–lain.

Gejala Klinis
Dengan mengamati gejala klinis yang timbul maka pemeriksaan penunjang untuk diagnose dapat sangat selektif dilakukan pada penderita yang diduga kuat menderita RGE. Beberapa gejala klinis yang timbul pada GER ini adalah sebagai berikut:
1. Manifestasi klinis akibat refluks asam lambung.
  • Sendawa (pirosis)
  • Mual.
  • Muntah
  • Sakit uluhati
  • Sakit menelan
  • Hematemesis melena
  • Striktura
  • Iritabel (bayi)
  • Gangguan pada saluran pernafasan
  • Erosi pada gigi
2. Manifestasi klinis akibat refluks gas (udara)
  • Eructation
  • Cekukan
  • Rasa penuh setelah makan
  • Mudah merasa kenyang
  • Perut sering gembung
3. Manifestasi klinis akibat refluks makanan dan minuman
  • Muntah.
  • Menolak diberi makanan (pada bayi dan anak)
  • Aspirasi ke saluran pernafasan (apnu, SIDS)
  • Anemia
  • Penurunan berat badan
  • Gagal tumbuh
  • Retardasi psikomotor
  • Sandifer syndrome (dimana terjadi hiper-ekstensi leher dan torticolis pada bayi)

Pemeriksaan Penunjang
1. Barium per Oral
Prinsip pemeriksaan adalah melihat refluks bubur barium. Pemeriksaan ini sangat berguna untuk melihat adanya kelainan struktural dan kelainan anatomis dari esofagus, adanya inflamasi dan esofagitis dengan erosi yang hebat (inflamasi berat). Ketika pemeriksaan ini dilakukan pasien diberi minum bubur barium, baru foto rongen dilakukan. Pada pemeriksaan ini dapat terlihat adanya suatu ulkus, hiatal hernia, erosi maupun kelainan lain.
Tetapi pemeriksaan ini tidak dapat mendeteksi ulkus ataupun erosi yang kecil. Pada pemeriksaan ini bisa terjadi positif semu jika pasien menangis selama pemeriksaan, peningkatan tekanan intraabdomen dan meletakkan kepala lebih rendah dari tubuh. Bisa juga terjadi negatif semu jika bubur barium yang diminum terlampau sedikit. Kelemahan lain, refluks tidak dapat dilihat jika terjadi transient low oesophageal sphincter relaxation (TLSOR).
2. Manometri Esophagus
Manometri merupakan suatu teknik untuk mengukur tekanan otot. Caranya adalah dengan memasukkan sejenis kateter yang berisi sejenis transduser tekanan untuk mengukur tekanan. Kateter ini dimasukkan melalui hidung setelah pasien menelan air sebanyak 5 ml. Ukuran kateter ini kurang lebih sama dengan ukuran pipa naso-gastrik. Kateter ini dimasukkan sampai transduser tekanan berada di lambung. Pengukuran dilakukan pada saat pasien meneguk air sebanyak 10–15 kali. Tekanan otot spingter pada waktu istirahat juga bisa diukur dengan cara menarik kateter melalui spingter sewaktu pasien disuruh melakukan gerakan menelan. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui baik tidaknya fungsi esofagus ataupun SEB dengan berbagai tingkat berat ringannya kelainan.
3. Pemantauan pH Esophagus
Pemantauan pH esofagus dilakukan selama 24 jam. Uji ini merupakan cara yang paling akurat untuk menentukan waktu kejadian asidifikasi esofagus serta frekuensi dan lamanya refluks. Prinsip pemeriksaan adalah untuk mendeteksi perubahan pH di bagian distal esofagus akibat refluks dari lambung. Uji memakai suatu elektroda mikro melalui hidung dimasukkan ke bagian bawah esofagus. Elektroda tersebut dihubungkan dengan monitor komputer yang mampu mencatat segala perubahan pH dan kemudian secara otomatis tercatat. Biasanya yang dicatat episode refluks yang terjadi jika terdeteksi pH < 4 di esofagus untuk jangka waktu 15–30 detik. Kelemahan uji ini adalah memerlukan waktu yang lama, dan dipengaruhi berbagai keadaan seperti: posisi pasien, frekuensi makanan, keasaman dan jenis makanan, keasaman lambung, pengobatan yang diberikan dan tentunya posisi elektroda di esofagus.
4. Uji Berstein
Uji Berstein termasuk uji provokasi untuk melihat apakah pemberian asam dalam jumlah kecil ke dalam esofagus dapat membangkitkan gejala RGE. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan bahwa kelainan bersumber pada esofagus jika pemeriksaan lain memberikan hasil negatif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan garam fisiologis melalui pipa nasogastrik sebanyak 7 – 8 ml per menit selama 10 menit diikuti pemberian 0.1 N larutan asam hidroklorida (waktu maksimal untuk pemeriksaan adalah 20 menit). Kemudian pasien mengatakan setiap keluhan atau gejala yang timbul. Jika uji Bernstein positif maka pasien dikatakan hipersensitif atau hiperresponsif terhadap rangsangan asam.
5. Endoskopi dan Biopsi
Pemeriksaan endoskopi (esofagogastroduodenoskopi atau panendoskopi) memungkinkan untuk melihat dan sekaligus melakukan biopsi epitel esofagus. Endoskopi dan biopsi dapat menentukan ada dan beratnya esofagitis, striktura dan esofagitis Barret, serta dapat menyingkirkan kelainan lain seperti penyakit Crohn. Tapi gambaran normal esofagus selama endoskopi belum tentu tidak ada esofagitis secara histopatologi. Jika esofagitis tidak terlihat maka perubahan mukosa menjadi hiperemis maupun pucat harus menjadi perhatian. Oleh karena itu jika pemeriksaan endoskopi dilakukan, sebaiknya dilakukan juga biopsi.
6. Scintigrafi
Pemeriksaan sintigrafi untuk mendeteksi adanya RGE sudah lama dikenal di kalangan ahli radiologi. Selain karena sensitivitasnya yang lebih baik dari pemeriksaan barium peroral, juga mempunyai radiasi yang lebih rendah sehingga aman bagi pasien. Prinsip utama pemeriksaan sintigrafi adalah untuk melihat koordinasi mekanisme aktifitas mulai dari orofaring, esofagus, lambung dan waktu pengosongan lambung. Kelemahan modalitas ini tidak dapat melihat struktur anatomi. Gambaran sintigrafi yang terlihat pada refluks adalah adanya gambaran spike yang keluar dari lambung. Tinggi spike menggambarkan derajat refluks sedangkan lebar spike menggambarkan lamanya refluks.
7. Ultrasonografi
Pada beberapa sentra pemeriksaan USG sudah dimasukkan ke dalam pemeriksaan rutin untuk mendeteksi adanya refluks. Malah dikatakan bahwa USG lebih baik dari pemeriksaan barium per oral maupun sintigrafi. Tetapi beberapa penelitian menyebutkan bahwa USG tidak mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang baik sehingga tidak dianjurkan. Kelemahan yang lain adalah lamanya waktu yang diperlukan dalam pemeriksaan dan pada beberapa kasus terdapat kesulitan untuk melihat bentuk esofagus (echotexture).

Tatalaksana
Tatalaksana pada GER adalah
1.Meru bah gaya hidup dan kebiasaan
2. Obat-obatan
Obat-obatan yang digunakan adalah
  • Antasida
  • Antagonis reseptor H2
  • Prokinetik
  • Proton pump inhibitor
3. Operasi
Indikasi operasi adalah jika RGE menyebabkan:2,3
  • Muntah persisten dengan gagal tumbuh.
  • Esofagitis atau adanya striktur esofagus.
  • Penyakit paru kronis atau apneic spell yang tidak respon dengan pengobatan selama 2–3 bulan.
  • Anak berusia > 18 bulan, dengan hiatus hernia yang besar.
  • Anak dengan gangguan neurologis yang tidak respon dengan obat- obatan

3. HERNIA
1. Pengertian
Berasal dari bahasa Latin, herniae, yaitu menonjolnya isi suatu rongga melalui jaringan ikat tipis yang lemah pada dinding rongga. Dinding rongga yang lemah itu membentuk suatu kantong dengan pintu berupa cincin. Gangguan ini sering terjadi di daerah perut dengan isi yang keluar berupa bagian dari usus.
2. Bagian-bagian Hernia
Bagian-bagian hernia adalah
  • Kantong hernia: pada hernia abdominalis berupa peritoneum parietalis
  • Isi hernia: berupa organ atau jaringan yang keluar melalui kantong hernia. Pada hernia abdominalis berupa usus
  • Locus Minoris Resistence (LMR)
  • Cincin hernia: Merupakan bagian locus minoris resistence yang dilalui kantong hernia
  • Leher hernia: Bagian tersempit kantong hernia yang sesuai dengan kantong hernia.

3. Klasifikasi Hernia
1)      Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas :
  • hernia bawaan (kongenital)
  • hernia yang didapat (akuisita)
2)      Berdasarkan letaknya, hernia dibagi menjadi
  • Hernia interna
  • Hernia eksterna
3)      Berdasarkan sifatnya, hernia dibagi menjadi
  • Hernia reponible, yaitu terjadi jika isi hernia dapat keluar masuk, isi hernia keluar biasanya pada saat berdiri atau mengedan (aktifitas) dan masuk pada saat tiduran (istirahat) , hernia jenis ini biasanya tanpa keluhan.
  • Hernia irreponible, yaitu terjadi jika isi hernia tidak dapat keluar masuk karena sudah ada perlekatan antara isi hernia dengan kantongnya, hernia jenis ini biasanya tanpa keluhan nyeri maupun gangguan pasase usus.
  • Hernia inkaserata, yaitu terjadi jika isi hernia tidak dapat keluar masuk kerena adanya jepitan isi hernia oleh cincin hernia sehingga timbul gejala gangguan pasase usus seperti mual, muntah, kembung, tidak dapat BAB, tidak dapat flatus.
  • Hernia strangulata, yaitu terjadi jika isi hernia megalami jepitan oleh cincin hernia sehingga timbul gejala gangguan pasase (obstruksi) dan gangguan vaskularisasi. Gangguan pasase dapat berupa mual, muntah, kembung, tidak dapat BAB, tidak dapat flatus dan gangguan vaskularisasi dapat berupa nyeri yang menyerupai cholik yang lama kelamaan bisa menetap dan dapat diikuti dengan nekrosis daerah yang mengalami jepitan bahkan dapat terjadi perforasi. Bila hernia strangulata hanya menjepit sebagian dinding usus biasanya disebut hernia Richter.
4. Factor Predisposisi
Hal-hal yang mempermudah terjadinya suatu hernia antara lain :
  • Riwayat batuk lama : TBC paru
  • Pekerja pengangkat beban berat
  • Trauma
  • Konstipasi lama
  • Usia tua
  • Hipertrofi prostat
  • Iatrogenik
  • Obesitas
  • Kebiasaan mengejan saat BAB

5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hernia dapat dilakukan dalam beberapa tindakan, antara lain:
1)      Konservatif
Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan pemakaian penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia yang telah direposisi.
2)      Operatif
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis yang rasional. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis ditegakkan. Prinsip dasar operasi hernia adalah hernioraphy, yang terdiri dari herniotomi dan hernioplasti.
  • Herniotomi
Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya. Kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan, kemudian direposisi, kantong hernia dijahit-ikat setinggi mungkin lalu dipotong.
  • Hernioplasti
Pada hernioplasti dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis internus dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Hernioplasti lebih penting artinya dalam mencegah terjadinya residif dibandingkan dengan herniotomi. Dikenal berbagai metode hernioplasti seperti memperkecil anulus inguinalis internus dengan jahitan terputus, menutup dan memperkuat fasia transversa, dan menjahitkan pertemuan m. tranversus internus abdominis dan m. oblikus internus abdominis yang dikenal dengan nama conjoint tendon ke ligamentum inguinale poupart menurut metode Bassini, atau menjahitkan fasia tranversa m. transversus abdominis, m.oblikus internus abdominis ke ligamentum cooper pada metode Mc Vay. Bila defek cukup besar atau terjadi residif berulang diperlukan pemakaian bahan sintesis seperti mersilene, prolene mesh atau marleks untuk menutup defek.

6. Pencegahan
Kelainan kongenital yang menyebabkan hernia memang tidak dapat dicegah, namun langkah-langkah berikut ini dapat mengurangi tekanan pada otot-otot dan jaringan abdomen:
1)      Menjaga berat badan ideal. Jika anda merasa kelebihan berat badan, konsultasikan dengan dokter mengenai program latihan dan diet yang sesuai.
2)      Konsumsi makanan berserat tinggi. Buah-buahan segar, sayur-sayuran dan gandum baik untuk kesehatan. Makanan-makanan tersebut kaya akan serat yang dapat mencegah konstipasi.
3)      Mengangkat benda berat dengan hati-hati atau menghindari dari mengangkat benda berat. Jika harus mengangkat benda berat, biasakan untuk selalu menekuk lutut dan jangan membungkuk dengan bertumpu pada pinggang.
4)      Berhenti merokok. Selain meningkatkan resiko terhadap penyakit-penyakit serius seperti kanker dan penyakit jantung, merokok seringkali menyebabkan batuk kronik yang dapat menyebabkan hernia inguinalis.

4. INVAGINASI
1. Defenisi
Intususepsi atau invaginasi adalah suatu keadaan masuknya segmen usus ke segmen bagian distalnya yang umumnya akan berakhir dengan obstruksi usus strangulasi (Mansjoer. R. 2000)
2. Epidemiologi
Intususepsi lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan (Mansjoer. R. 2000). Angka kejadian pada anak laki-laki 3 kali lebih besar bila dibandingkan anak perempuan (kidshealth. org, 2001). Seiring dengan pertambahan umur, perbedaan kelamin menjadi bermakna. Pada anak usia lebih dari 4 tahun, rasio insidensi anak laki-laki dengan anak perempuan adalah 8 : 1. (emedicine, 2001)
3. Etiologi
Pada bayi lebih dari 3 tahun, bisa disebabkan faktor mekanik, seperti :
  • Meckel diverticulum
  • Polip pada untestinum
  • Lymposarcoma intestinum
  • Trauma tumpul pada abdominal dengan hematom
  • Hemangioma  emedicine.com, 2003).
Selain itu beberapa penelitian menunjukkan peranan rotavirus pada penyebab invaginasi.
4. Gejala Klinis
Gejala yang tampak adalah nyeri perut yang hebat, mendadak dan hilang timbul dalam waktu beberapa detik hingga menit dengan interval waktu 5-15 menit. Diluar serangan, anak tampak sehat. (www.pediatrik.com, 2003). Bayi dengan intususepsi akan mengalami nyeri abdomen yang sangat mendadak sehingga mereka menangis dengan sangat kesakitan dan keras. Bayi tersebut akan menarik lututnya ke dada.  kidshealth.org, 2001)
Anak sering muntah dan dalam feses sering ditemukan darah dan lendir. Secara bertahap anak akan pucat dan lemas, bisa menjadi dehidrasi, merasa demam, dan perut mengembung. (www.gosh, 2002).Selain itu, ada gejala-gejala seperi anak menjadi cepat marah, nafas dangkal, mendengkur, konstipasi  kidshealth.org, 2001).
5. Diagnosis
Anamnesa dengan keluarga dapat diketahui gejala-gejala yang timbul dari riwayat pasien sebelum timbulnya gejala, misalnya sebelum sakit, anak ada riwayat dipijat, diberi makanan padat padahal umur anak dibawah 4 bulan.  kidshealth.org, 2001).Pemeriksaan fisik, pada palipasi diperoleh abdomen yang mengencang, massa seperti sosis  kidshealth.org, 2001).
Pemeriksaan penunjang dilakukan X-ray abdomen untuk melihat obstruksi  kidshealth.org.2001).Pemeriksaan ultrasound bisa melihat kondisi secara umum dengan menggunakan gelombang untuk melihat gambaran usus di layar monitor (www.gosh, 2002).
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan invaginasi adalah
  • Terapi cairan intravena
  • Pemasangan nasogastrik tube
  • Barium enema untuk reduksi invaginasi
  • Operasi, jika tindakan dengan barium enema tidak berhasil
7. Komplikasi
Jika invaginasi terlambat atau tidak diterapi, bisa timbul beberapa komplikasi berat, seperti kematian jaringan usus, perforasi usus, infeksi dan kematian  kidshealth.org, 2001).
8. Prognosis
Invaginasi dengan terapi sedini mungkin memiliki prognosis yang baik. Terdapat resiko untuk kambuh lagi  familidoctor.org, 2003)
9. Differensial diagnosis
Differensial diagnosis pada invaginasi adalah
  • Trauma Abdomen
  • Appendisitis Akut
  • Hernia
  • Gastroenteritis
  • Torsi testis
  • Perlengketan jaringan
  • Volvulus
  • Meckel diverticulum
  • Perdarahan G 1
  • Proses-proses yang menumbuhkan nyeri abdomen  emedicine.com, 2003).

5. HEMORRHOID
1. Defenisi
Hemorrhoid adalah dilatasi varikosus vena dari pleksus hemoroidalis inf/sup.
2. Etiologi
Etiologi hemorrhoid adalah
  • Obstruksi vena
  • Prolaps bantalan anus
  • Keturunan
  • Diet dan geografis
  • Kebiasaan defekasi
  • Tonus sfingter anus
3. Gejala klinis
Gejala klinis hemorrhoid adalah
  • Perdarahan melalui anus
  • Prolaps atau benjolan anus
  • Nyeri dan rasa tidak aman
  • Secret, pruritus dan hygiene kurang
4. Komplikasi
Komplikasi yang muncul adalah
  • Trombosis dan infeksi bantalan vaskuler interna
  • Edema
  • Trombosis vaskuler ekterna
  • Anemia
  • Dermatitis perianal
5. Diagnosis
Diagnose hemorrhoid ditegakkan dengan diagnose
  • Anamnesa
  • Pemeriksaan fisik
  • Inspeksi perianal
  • Palpasi
  • Anuskopi
  • Sigmoidoskopi
6. Klasifikasi
Klasifikasi hemorrhoid adalah
  • Stadium I
Pada stadium I terjadi perdarahan, tetapi tidak terjadi prolaps
  • Stadium II
Pada stadium II, terdapat bantalan prolaps seperti dibawah L.Dentata  saat mengedan dan hilang spontan, selain itu terdapat secret dan pruritus
  • Stadium III
Pada stadium III, terdapat bantalan anus yang keluar saat mengedan dan tetap diluar sampai direposisi manual, selain itu biasanya terdapat kotoran dalam pakaian dalam.
  • stadium  IV
Pada stadium IV, terdapat nyeri, prolaps tidak dapat direposisi secara manual, dan terdapat bantalan interna yang ditutupi mukosa.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hemorrhoid ini adalah
  • Pencegahan
Usaha yang dapat dilakukan adalah
1)      Memberikan nasehat
2)      menghindari konstipasi kronik
3)      mengkonsumsi makanan berserat tinggi
4)      menghindari makanan yang pedas
5)      menggunakan toilet jongkok
  • Medikamentosa
Obat yang digunakan adalah Obat simtomatik nyeri ,gatal ,salep antiseptik,analgetik, vasokonstriktor.
  • Tindakan invasiv
Tindakan invasive yang dapat dilakukan adalah
1)      Skleroterapi
2)      Rubber Band Ligation
3)      Cryotheraphy atau cryosurgery
4)      Coagulation infra red
5)      Bipolar diathermy
6)      Tindakan operasi

6. PERDARAHAN SALURAN PENCERNAAN
1. Defenisi
Perdarahan bisa terjadi dimana saja di sepanjang saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Bisa berupa ditemukannya darah dalam tinja atau muntah darah,tetapi gejala bisa juga tersembunyi dan hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan tertentu.
2. Etiologi
Penyebab perdarahan pada saluran pencernaan :
a. Kerangkongan, di antaranya disebabkan oleh:
  • Robekan jaringan
  • Kanker
b. Lambung, di antaranya disebabkan oleh:
  • Luka kanker atau non-kanker
  • Iritasi (gastritis) karena aspirin atau Helicobacter pylori
c. Usus halus, di antaranya disebabkan oleh:
  • Luka usus dua belas jari non-kanker
  • Tumor ganas atau jinak
d. Usus besar, di antaranya disebabkan oleh:
  • Kanker
  • Polip non-kanker. Penyakit peradangan usus (penyakit Crohn atau kolitis ulserativa)
  • Penyakit divertikulum
  • Pembuluh darah abnormal di dinding usus (angiodisplasia)
e. Rektum, di antaranya disebabkan oleh:
  • Kanker
  • Polip non-kanker
  • Anus, di antaranya disebabkan oleh Hemoroid dan Robekan di anus (fisura anus)
3. Manifestasi Klinik
Gejalanya bisa berupa:
  • muntah darah (hematemesis)
  • mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena)
  • mengeluarkan darah dari rektum (hematoskezia)
Tinja yang kehitaman biasanya merupakan akibat dari perdarahan di saluran pencernaan bagian atas, misalnya lambung atau usus dua belas jari. Warna hitam terjadi karena darah tercemar oleh asam lambung dan oleh pencernaan kuman selama beberapa jam sebelum keluar dari tubuh. Sekitar 200 gram darah dapat menghasilkan tinja yang berwarna kehitaman.
Penderita dengan perdarahan jangka panjang, bisa menunjukkan gejala-gejala anemia, seperti mudah lelah, terlihat pucat, nyeri dada dan pusing. Jika terdapat gejala-gejala tersebut, dokter bisa mengetahui adanya penurunan abnormal tekanan darah, pada saat penderita berdiri setelah sebelumnya berbaring.
Gejala yang menunjukan adanya kehilangan darah yang serius adalah denyut nadi yang cepat, tekanan darah rendah dan berkurangnya pembentukan air kemih. Tangan dan kaki penderita juga akan teraba dingin dan basah. Berkurangnya aliran darah ke otak karena kehilangan darah, bisa menyebabkan bingung, disorientasi, rasa mengantuk dan bahkan syok.
Gejala kehilangan darah yang serius bisa berbeda-beda, tergantung pada apakah penderita memiliki penyakit tertentu lainnya. Penderita dengan penyakit arteri koroner bisa tiba-tiba mengalami angina (nyeri dada) atau gejala-gejala dari suatu serangan jantung. Pada penderita perdarahan saluran pencernaan yang serius, gejala dari penyakit lainnya, seperti gagal jantung, tekanan darah tinggi, penyakit paru-paru dan gagal ginjal, bisa bertmbah buruk. Pada penderita penyakit hati, perdarahan ke dalam usus bisa menyebabkan pembentukan racun yang akan menimbulkan gejala seperti perubahan kepribadian, perubahan kesiagaan dan perubahan kemampuan mental (ensefalopati hepatik).
4. Diagnosa
Pemeriksaan ditujukan untuk menemukan sumber perdarahan. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah
  • Endoskopi
  • Biopsy
  • Rontgen dengan menggunakan barium enema
  • angiografi
5. Penatalaksanaan
Pada lebih dari 80% penderita, tubuh akan berusaha menghentikan perdarahan. Penderita yang terus menerus mengalami perdarahan atau yang memiliki gejala kehilangan darah yang jelas, seringkali harus dirawat di rumah sakit dan biasanya dirawat di unit perawatan intensif.
Bila darah hilang dalam jumlah besar, mungkin dibutuhkan transfusi. Untuk menghindari kelebihan cairan dalam pembuluh darah, biasanya lebih sering diberikan transfusi sel darah merah (PRC/Packed Red Cell) daripada transfusi darah utuh (whole blood). Setelah volume darah kembali normal, penderita dipantau secara ketat untuk mencari tanda-tanda perdarahan yang berlanjut, seperti peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah atau kehilangan darah melalui mulut atau anus.
Perdarahan dari vena varikosa pada kerongkongan bagian bawah dapat diobati dengan beberapa cara. Diantaranya dengan memasukkan balon kateter melalui mulut ke dalam kerongkongan dan mengembangkan balon tersebut untuk menekan daerah yang berdarah. Cara lain ialah dengan menyuntikan bahan iritatif ke dalam pembuluh yang mengalami perdarahan, sehingga terjadi peradangan dan pembentukan jaringan parut pada pembuluh balik (vena) tersebut.
Perdarahan pada lambung sering dapat dihentikan melalui endoskopi. Dilakukan kauterisasi pembuluh yang mengalami perdarahan dengan arus listrik atau penyuntikan bahan yang menyebabkan penggumpalan di dalam pembuluh darah. Bila cara ini gagal, mungkin perlu dilakukan pembedahan.
Perdarahan pada usus bagian bawah biasanya tidak memerlukan penanganan darurat. Tetapi bila diperlukan, bisa dilakukan prosedur endoskopi atau pembedahan perut. Kadang-kadang lokasi perdarahan tidak dapat ditentukan dengan tepat, sehingga sebagian dari usus mungkin perlu diangkat.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Dorland. Kamus Kedokteran. EGC: Jakarta. 2002.
  2. Supriatmo.2003. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gejala Refluks Gastroesofagus Pada Anak Usia Sekolah Dasar. http://www.USU.ac.id. Diunduh pada tanggal 28 September 2009.
  3. Sri Mayarni Sutadi.2003.Pola Keganasan Saluran Cerna Bagian Atas dan Bawah secara Endoskopi di H.Adam Malik – Medan. http://www.USU.ac.id. Diunduh pada tanggal 28 September 2009.
  4. Prof. DR. dr. Yanwirasti. Slide kuliah pengantar: Abdomen
  5. Dr. H. Asri Zahari, Sp.BD (K). Slide kuliah pengantar: Diagnosis dan penatalaksanaan Hemorrhoid